Strategi sosialisasi ideologi Pacasila tampaknya perlu dimodifikasi di era perkembangan teknologi informasi. BPIP yang dibentuk sejak 2018 perlu berbenah dan meramu cara yang canggih agar dasar filsafat negara itu mampu mendarat dan meresap di sanubari dan akal bangsa dengan mudah.
Setidaknya pertimbangan itulah yang kemudian membuat Amin Abdullah dan Prof.Yudian Wahyudi selaku Kepala BPIP pada Sabtu (29/10) sore kompak hadir di sebuah acara konser musik Jazz di Jalan I Dewa Nyoman Oka, Kotabaru, Yogyakarta.
Jazz Syuhada 2022 dipandang sebagai media baru yang tepat untuk menanamkan ideologi Pancasila sebab jazz banyak digandrungi penikmat musik modern, khususnya generasi usia antara 13 sampai 23 tahun alias Generasi Z dan Generasi Milenial 25-34 tahun.
Cendekiawan Muslim sekaligus tokoh BPIP itu tak sekadar hadir lalu ikut menonton konser yang mengusung tema "Sayuk Rukun". Saat openingkonser jazz yang setiap tahun digelar tersebut, kedua mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu berbagi peran.
Yudian memberikan kata sambutan kemudian resmi membuka konser, sementara Amin Abdullah menyampaikan orasi bertema "Pancasila melalui Seni, Musik, dan Budaya dalam Rangka Memperingati Hari Sumpah Pemuda: Merajut Keragaman Memperkokoh Kemanusiaan".
Sila ketiga Pancasila yakni Persatuan Indonesia menjadi sorotan Amin dalam orasinya dengan meyakini bahwa musik bisa menjadi tempat melepas beragam perbedaan dan penguat persatuan.
Pancasila dalam laku
Tidak sekadar soal musik jazz atau bukan jazz, BPIP ternyata memberikan perhatian khusus pada sejarah, latar belakang, serta proses penyelenggaraan Jazz Syuhada 2022 yang menghadirkan beragam musikus jazz.
Sila ketiga Pancasila terimplementasi dengan cukup baik dan kuat, bahkan Amin Abdullah menyebut layak menjadi model penerapan Pancasila di Tanah Air.
Dari sisi lokasi, panggung konser itu tak biasa. Posisinya berada di tengah-tengah, antara Masjid Syuhada yang berusia 70 tahun dan Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang berusia 76 tahun, serta Gereja Santo Antonius Kotabaru (96 tahun).
Amin, Ketua PP Muhammadiyah periode 2000-2005, menyebut ketiga tempat ibadah itu sebagai "The Triangle" atau segitiga yang mewarnai kehidupan toleransi di DIY.
Dalam jurnal "Jurnal Civics" Vol. 16 No. 1 Tahun 2019 berjudul "Pancasila dan Toleransi Pada Tradisi Keagamaan Masyarakat Yogyakarta", Nurainun Mangungsong dan Vita Fitria menyebutkan bahwa sebelum Masjid Syuhada berhasil dibangun pada tahun 1952, muslim di sekitar Kotabaru sering meminjam Gereja HKBP untuk shalat Jumat dan pengajian.
Kedua tempat ibadah tersebut, karena jaraknya yang berdekatan, juga sering meminjamkan tempat parkir masing-masing.
Penyelenggaraan konser juga unik karena digagas para remaja Masjid Syuhada berkolaborasi dengan pengurus Gereja Santo Antonius Kotabaru dan Gereja HKBP.
Dengan demikian, selain sebagaievent,Jazz Syuhada 2022 juga menjadi model implementasi sila ketiga Pancasila karena prosesnya yang mempertemukan beragam komunitas yang saling bekerja sama dengan semangat kesukarelawanan, memperkokoh keberagaman, dan kemanusiaan.
Menepis Antitoleransi
Di hadapan para penikmat jazz serta tokoh lintas iman di Yogyakarta, Amin Abdullah mempertegas bahwa beragam suku, agama, ras, dan golongan yang tumbuh subur di Indonesia merupakan berkah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Namun, merawat berkah yang dititipkan kepada Indonesia sebagai modal sosial dan modal kultural yang luar biasa besar itu tentu tidak mudah.
Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 sebagaimana dibacakan seorangqorisaat pembukaan Konser Jazz disebutkan bahwa Allah Swttelah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal.
Untuk merawat perbedaan dengan saling mengenal, toleransi sebagai pengejawantahan sila ketiga Pancasila mutlak diperlukan.
Toleransi yang dimaksud ialah sikap untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan itu baik individu maupun kelompok tanpa saling menghakimi meski tetap berpegang dengan prinsip atau akidah masing-masing.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam sebuah kesempatan belum lama ini pernah menuturkan bahwa sikap mengingkari atau tidak mengakui pihak yang berbeda sama artinya menentangsunnatullahatau ketentuan yang telah diatur dan dikehendaki oleh Allah Swt.
"Berbeda itusunnatullah, jadi kalau enggak mengakui yang lain, yang berwarna lain, yang berbeda, itu kan sebetulnya menentang kehendak-Nya juga," tegas Ngarsa Dalem, sapaan Sultan HB X.
Sikap semacam itu, menurut Raja Keraton Yogyakarta juga diwarnai banyaknya tokoh agama yang sekadar membicarakan heroisme sendiri-sendiri, tetapi ayat-ayat yang menghargai orang lain, etnik lain, agama lain tidak pernah disampaikan dengan baik.
Jazz Syuhada 2022 hadir sebagai bagian dari bukti bahwa praktik baik soal toleransi itu tidak hanya ternarasikan tapi bisa "autentik menubuh", karena pemuda dengan suku, agama, ras, dan golongan yang berbeda di Kotabaru bergotong royong membawa kursi, menyusun acara, hingga menata panggung bersama.
Jika ada yang merasa terancam, sinis, atau tidak suka dengan praktik baik semacam itu, maka patut dipertanyakan, sudah paham makna Ideologi Pancasila sebagai dasar negara atau belum? (ant/KoranJakarta)
Yogya Memang Kreatif, Lakukan Penanaman Ideologi Pancasila Lewat Konser Musik Jazz
30 Oktober 2022, 17:40 WIB
Waktu Baca 4 menit
Yogyakarta - Kreatifitas di zaman kemajuan teknologi ini menjadi sebuah keharusan, agar masyarakat tidak melupakan akar budaya bangsanya, terutama nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam keberagaman.
Adalah Profesor Amin Abdullah yang merasa haqul yakin bahwa lima sila Pancasila sudah ada di kepala sebagian besar masyarakat Indonesia.
Meski ada yang tak hafal keseluruhan, semua tahu bahwa fakta sejarah menyebutkan Pancasila adalah konsensus atau kesepakatan final para pendiri bangsa. Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila RI (BPIP) itu juga mengakui sampai saat ini belum semua memahami bagaimana mengimplementasikan Pancasila, lebih-lebih Generasi Milenial dan Generasi Z.