Judul : Lengking Burung Kasuari

Penulis : Nunuk Y. Kusmiana

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit : Maret, 2017

Tebal : 224 hal

ISBN : 9786020339825

Kinasih Andarwati atau Asih tokoh utama kita dalam novel ini baru saja pindah bersama keluarganya di Tanah Papua. Ayahnya adalah salah satu anggota ABRI, ibunya seorang wanita biasa yang kemudian membuka bisnis kelontong, dan juga Tutik, adiknya. Bapak termasuk kelompok tentara yang pertama dikirim ke wilayah ini (Papua) setahun setelah Presiden Soekarno mencanangkan Trikora. (hal.19) Pilihan mempergunakan istilah ABRI dan bukan tentara atau TNI-AD, menandakan latar waktu yang dikehendaki penulis.

Penggunaan istilah ABRI di novel ini lekat dengan era orde baru, ketika polisi dan TNI menjadi satu naungan, yang kemudian kembali diceraikan di masa reformasi. ABRI di era emas orde baru, benar-benar memiliki kekuasaan penting. Dan di novel, penulis juga menyinggung beberapa. Misalkan bagaimana Ibu Asih mendapatkan kemudahan meminjam utang, mendatangkan minyak tanah dengan jaminan posisi suaminya yang seorang ABRI.

Kepindahan mereka secara langsung menumbuhkan benturan budaya, Jawa-Papua. Asih yang masih belia menangkap itu dengan kacamata kepolosan. Pengidentifikasian Asih atas perubahan lingkungan juga tampak sangatlah polos. Misalkan bagaimana Asih mendiskripsikan Om Tamb, laki-laki dewasa berambut ikal, taka seluruhnya memang. Dia juga bertubuh tinggi besar dan kulitnya sedikit gelap. (hal.27)

Sepanjang novel kita akan disuguhi halaman demi halaman yang berisikan kenangan Asih (yang sangat mungkin dijahit dari pengalaman asli penulis) semasa di Papua. Mulai dari permainan kecil dengan Sendy, Tutik, dan kawan-kawannya di perumahan tentara. Sendy adalah teman pertamaku di kota ini, penting bagiku untuk menjadi teman sepadan baginya. (hal.1)

Papua tahun 1964, setahun setelah Trikora tentu tidaklah semaju sekarang. Meskipun keluarga Asih masih lebih beruntung dibandingkan dengan orang Papua asli, seperti Sendy yang harus menempuh sekolah lebih jauh. Yang kentara ialah soal bahan bakar minyak yang cukup langka, hingga Ibu Asih menjadikan bisnis. Kemudian soal keterheran-herannya orang Papua menyaksikan benda kotak yang mampu menghasilkan es batu pengusir rasa panas di badan.

Keabsenan rasa Papua di novel ini, disebabkan cakupan bahasan yang hanya menitik beratkan soal Asih dan keluarganya di perumahan ABRI. Nunuk tidak membuka lebih luas 'koper' miliknya. Tidak hendak mengulik lebih lanjut soal Papua, tempat dia menghabiskan masa kecil.

Novel ini masih miskin rasa Papua. Tak ada sedikit pun budaya Papua yang disinggung. Penulis terlalu gegabah dengan memilih sudut pandang seorang anak kecil.

Persoalan utama soal 'tukang potong kep' tak dibahas lebih dalam oleh penulis. Hal ini baru dibuka kembali menjelang kepindahan Asih. Kemudian aku teringat 'tukang potong kep'. (hal.220) Aku menatap ke bagian bawah tubuhnya (Om Said), parangnya terlihat berayun-ayun di sisi kanan tubuhnya. (hal.222)

Untuk sebuah novel dengan gelar pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta, Lengking Burung Kasuari memang tidak memiliki muatan sosial-politik yang pekat. Narasi kuat, penuh kenangan, dan secuplik potret masyarakat Papua tahun 60-an.

Peresensi, Teguh Afandi, alumni Universitas Gadjah Mada

Baca Juga: