Sosok Wu Zetian kian terkenal dalam sejarah Kekaisaran Tiongkok. Ada banyak alasan mengapa Wu bisa amat populer.

Selain menjadi satu-satunya 'kaisar' perempuan dalam Kekaisaran Tiongkok yang berdiri selama 4.000 tahun, Wu terkenal karena pemerintahannya yang sangat efektif dan juga harta kekayaannya yang melimpah.

Nama Wu bahkan menghiasi daftar 10 perempuan paling kaya sepanjang sejarah versi Time. Ia bahkan dilaporkan jauh lebih kaya ratu Mesir paling terkenal, Cleopatra.

Memerintah pada abad ke-7 Masehi, Wu mengatur pemerintahan seefektif mungkin. Berkat perdagangan komoditas berharga berupa teh dan sutra di sepanjang Jalur Sutra (Silk Road), Wu berhasil membuat rakyat yang dipimpinnya amat makmur. Wu juga terkenal memperjuangkan kebutuhan masyarakat kelas bawah.

Selama 15 tahun kekuasaannya, Wu membuka kesempatan bagi perempuan-perempuan lain untuk berprestasi di segala bidang.

Berkat kesuksesan demi kesuksesan yang ia raih, Wu berhasil menyebarkan pengaruh kerajaannya hingga ke Asia Tengah dan menjadikan kerajaannya sebagai yang terbesar di dunia kala itu.

Meski begitu, sejarah mencatat Wu sebagai salah satu wanita paling kejam di dunia.

Wu Zetian lahir dari keluarga yang relatif kaya dan memiliki orang tua yang sangat progresif. Meski saat itu sangat sedikit anak perempuan yang disekolahkan, ayah Wu tetap memastikan putrinya menerima pendidikan yang menyeluruh.

Pendidikan itu membawa Wu menjadi fasih dalam berbagai mata pelajaran, termasuk menulis, musik, sastra, dan mungkin yang paling penting, politik dan urusan pemerintahan.

Melansir laman The Collector, pada usia 14 tahun, Wu dipanggil ke istana kekaisaran untuk menjadi selir Kaisar Taizong. Meskipun dia bukan selir favoritnya, konon Wu bersedia memenuhi selera seksual Kaisar Taizong yang tak biasa. Akhirnya, Wu berhasil mendapatkan rasa hormat yang signifikan dari kaisar.

Karena tidak memiliki anak dari Kaisar Taizong, Wu dikirim ke ordo monastik untuk menjalani hidup mereka sebagai biarawati Buddha usai sang Kaisar meninggal.

Namun Wu bagaimanapun, berhasil memasuki istana karena perintah Kaisar Li Zhi yang merupakan putra bungsu dari mendiang Kaisar Taizong. Li Zhi, yang kemudian bernama Kaisar Gaozong, membawa Wu kembali ke istana kekaisaran untuk menjadi selirnya.

Walau tidak biasa, hal ini tidak mengejutkan karena Li dan Wu sempat berselingkuh saat Kaisar Taizong masih hidup.

Pada tahun 652, Wu yang masih berstatus selir kala itu melahirkan seorang putra dari Kaisar dan menyingkirkan Permaisuri dari hati sang Kaisar.

Tak butuh waktu lama, Wu melahirkan seorang putri pada tahun 654. Namun, tak lama setelah lahir, anak itu meninggal dengan bukti yang menunjukkan pencekikan.

Wu kemudian menuduh Permaisuri Wang atas pembunuhan itu. Akibatnya, Wang kehilangan dukungan dari Kaisar. Teori yang paling populer adalah bahwa Wu mencekik putrinya sendiri.

Setelah itu, Kaisar akhirnya menurunkan pangkat Permaisuri Wang dan Xiao, memenjarakan mereka, dan mempromosikan Wu menjadi Permaisuri.

Belakangan, Kaisar mempertimbangkan untuk membebaskan Wang dan Xiao mereka, tetapi Wu yang takut akan pembalasan, memilih mengeksekusi mereka setelah mendengar kabar ini.

Setelah naik takhta, Wu Zetian mulai menargetkan pejabat yang menentang kebangkitannya ke tampuk kekuasaan. Banyak yang ditangkap dan dipenjara, diasingkan, dipaksa bunuh diri, atau dieksekusi.

Pada tahun 664, dia menuduh beberapa pejabat dan mengeksekusi mereka. Keluarga para pejabat itu bahkan dijadikan budak di dalam istana Kekaisaran Tiongkok. Dalam insiden lain, dia membunuh keponakannya dengan racun, menuduh dua orang lainnya atas kematian tersebut, dan mengeksekusi mereka.

Ketika kesehatan kaisar mulai menurun pada tahun-tahun berikutnya, Wu menggunakan lebih banyak kekuasaan untuk mengasingkan, mengeksekusi, dan meracuni orang-orang yang dia rasa mengancam posisinya.

Setelah kematian kaisar, Wu secara efektif menjadi penguasa de facto, menjalankan kehendaknya atas rakyat dan kerajaannya.

Sepanjang masa pemerintahannya, Wu menggunakan jaringan mata-mata yang rumit untuk menandai potensi ancaman untuk dimusnahkan, dan yang ditandai dieksekusi oleh polisi rahasianya. Praktik ini mencapai puncaknya pada tahun 684 ketika 12 cabang keluarga kekaisaran dibantai.

Baca Juga: