dr Hery mengatakan, dibandingkan dengan metode lainnya, prognosisnya Robotic Prostate Biopsy pun lebih baik.

"Tindakan ini bersifat minimal invasif, sehingga mengurangi risiko komplikasi dan pendarahan pasca-tindakan, serta minim resiko infeksi dengan proses pemulihan yang lebih singkat, dan tanpa memerlukan rawat inap," ungkapnya.

Lanjut dr Hery, proses biopsi dilakukan untuk mengambil sampel jaringan dari kelenjar prostat. Tujuannya untuk menentukan apakah jaringan tersebut bersifat ganas atau tidak.

"Prosedur ini dilakukan dengan bius lokal, epidural/spinal atau bius umum. Lalu dokter akan melakukan biopsi Prostat dengan memasukkan jarum biopsi pada dinding rektum (transrectal) dan perineum atau bagian kulit antara anus dan skrotum (transperineal)," jelasnya.

Membandingkan dengan proses USG, MRI lebih baik dalam membedakan jaringan prostat abnormal dari jaringan normal. "Pada MRI-US fusion prostate biopsy, MRI dilakukan sebelum prosedur, kemudian pada saat biopsi, gambaran MRI digabungkan/di-mapping ke gambaran USG real time sebagai panduan biopsi pada lesi target."

"Pengembangan teknologi kedokteran yang menggunakan sistem robot ini membantu prosedur pembedahan. Namun dokter (ahli bedah) tetap berperan dalam tindakan operasi pengambilan keputusan, dan mengoperasikan robot. Lengan robot dikontrol oleh dokter," katanya.

Melalui teknik robotik ini, dokter juga bisa mengurangi atau menghilangkan trauma jaringan pada pasien. Selain itu, gambaran USG real-time untuk biopsi lebih terarah sehingga lukanya lebih kecil dan risiko infeksi mendekati nol.

"Selama ini transrectal US guided biopsy menjadi gold standard dalam mendeteksi Prostate-Specific Antigen (PSA), namun angka false negative-nya tinggi berkisar 30%. Sedangkan Robotic MRI/US fusion-guided targeted biopsy meningkatkan angka deteksi kanker prostat yang signifikan 30% dari biopsi standar, dan menurunkan diagnosis kasus insignifikan atau low-risk 89.4%," terangnya.

Baca Juga: