Total jumlah kamar di Bali ada 140.000, dan sudah beberapa bulan ini tingkat okupansinya tidak lebih dari 10 persen.

Dampak pandemi Covid-19 sangat terasa ke berbagai sektor perokonomian. Banyak pekerja yang pendapatannya berkurang, baik itu yang dirumahkan sementara atau dipotong gajinya. Ada juga yang malah tidak punya penghasilan karena pemutusan hubungan kerja.

Sektor pariwisata bisa dibilang sebagai sektor yang paling terdampak dari pandemi ini. Jangankan wisatawan mancanegara, turis lokal saja sangat berkurang karena adanya berbagai pembatasan maupun keengganan orang pergi ke luar kota. Maka tidak heran jika libur panjang Hari Raya Idul Fitri bulan Mei lalu, destinasi wisata tetap dibuka, sedangkan mudik ke kampung halaman yang menjadi tradisi tiap Idul Fitri tidak diperbolehkan.

Dan bicara tentang tempat tujuan wisata yang terdampak, meski daerah lain juga terkena, harus diakui Bali yang paling parah. Pulau yang menjadi tujuan utama wisatawan asing ini, sudah setahun tidak kedatangan turis luar negeri. Kalau toh ada bule di sana, itu bisa jadi mereka yang bekerja di Bali atau terperangkap gak bisa pulang ke negaranya.

Maka tidak heran, kamar-kamar hotel di Bali dijual murah. Hotel bintang lima yang tarif kamarnya per malam biasanya di harga enam juta rupiah, kini hanya dijual dua juta rupiah. Jangankan dapat untung, bisa menutup biaya operasional saja itu sudah bagus. Yang penting hotel masih bisa terawat, tidak kumuh, tidak kusam, dan kalau nanti keadaan sudah mendekati normal dan turis asing bisa ke Bali lagi, tidak perlu renovasi besar-besaran.

Meski demikian, tidak semua hotel bisa bertahan. Ada yang menyerah dan akhirnya menjual hotelnya. Maka tidak heran jika di berbagai aplikasi jual beli properti, banyak sekali hotel dijual dengan banting harga.

Total jumlah kamar di Bali ada 140.000, dan sudah beberapa bulan ini tingkat okupansinya tidak lebih dari 10 persen. Bisa dibayangkan berapa banyak tenaga kerja di bidang pariwisata yang terkena dampaknya.

Tentu kita semua tidak ingin pariwisata kita tenggelam lebih dalam lagi. Guna mendorong pemulihan pariwisata di Bali, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, mencanangkan program Work From Bali (WFB) bagi aparatur sipil negara di kementeriannya dan tujuh kementerian lainnya.

Pertanyaannya kenapa Bali? Bukankah daerah lain yang menjadi destinasi wisata juga terkena dampaknya? Benar, daerah lain juga terimbas pandemi ini, tapi harus diakui Bali lah yang paling menderita.

Lesunya ekonomi Bali tampak jelas dari data Bank Indonesia. Pada kuartal I-2021, Bali berada di posisi paling bawah dalam pertumbuhan ekonomi. Pada periode tersebut, perekonomian Bali terkontraksi 9,85 persen, jauh lebih besar dibanding provinsi lain. Dibanding urutan kedua, yaitu Kalimantan Tengah, kontraksi ekonomi Bali jauh lebih dalam. Kalimantan Tengah yang berada di posisi kedua hanya terkontraksi 3,12 persen.

Sebagai tahap awal, kawasan wisata Nusa Dua di Kabupaten Badung menjadi proyek percontohan program WFB. Nusa Dua dipilih karena sistem manajemen tunggal yang dimiliki membuat kawasan tersebut lebih terkendali dan terawasi.

Memang ada yang menilai WFB itu pemborosan keuangan negara. Di saat penerimaan negara masih lemah seperti sekarang, sebaiknya aparatur pemerintah bisa menjadi teladan untuk berhemat. Selain itu, meski WFB dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat, berkumpulnya banyak orang tetap akan menimbulkan risiko penularan.

Baca Juga: