Traveling mengenalkan lingkungan lebih dekat. Dengan imbuhan kegiatan sosial, kegiatan traveling akan menjangkau daerah pelosok yang masih jauh dari kesejahteraan.

Traveling bukan perjalanan wisata biasa. Dalam aktivitasnya, traveling terasa lebih seru ketika menjelajah atau menemukan obyek baru. Misal, pelosok daerah yang tidak ditemui dalam promo-promo perjalanan wisata.

Biasanya, daerah pelosok atau terpencil, ditemukan saat memadukan perjalanan wisata dengan kegiatan sosial. Letsgotrip.community, komunitas social traveler ingin menjadikan perjalanan wisata lebih kaya makna.

Masih terbayang dalam benak Yostia Fitri Febby, 23, Bendahara Letsgotrip. community serta Founder muslimahtraveller, salah satu program dalam Letsgotrip. community ketika mengunjungi Kecamatan Wanasalam, Banten. Ia mendapati siswa kelas dua SD yang harus menyeberang danau atau yang semula digunakan juga sebagai bendungan dengan getek setiap berangkat ke sekolah.

"Ya sekitar 20 menitanlah," ujar dia tentang lama penyeberangan saat ditemui bersama rekannya Wendie Jatmiko Ardiansyah, Ketua dan Founder Letsgotrip.community di Taman Potret, Tangerang, Kamis (20/6). Menurutnya, jarak tersebut merupakan jarak terpendek ketimbang harus memutar jalan menggunakan sepeda motor yang memakan waktu kurang lebih 3 jam.

Di wilayah tersebut, masing- masing anak memiliki getek yang dibuatkan oleh orang tuanya dengan kapasitas satu orang. Setiap pagi, getek telah terparkir dipinggir danau.

Para siswa akan menyeberang secara bersama-sama agar mereka dapat saling tolong menolong jika salah satunya jatuh ke danau. Cara ini mengingat alat transportasi yang digunakan cenderung seadanya, hanya berupa papan dan jerigen di bagian bawahnya. Sehingga, keamanannya kurang terjaga.

Pengalaman tersebut diperoleh saat melakukan perjalanan di daerah Banten. Ia tidak menyangka masih ada anak sekolah dasar di Banten yang berangkat sekolah menyeberang danau dengan menggunakan getek.

Bahkan setelah melihat sekolah yang bergabung dengan gudang, hatinya makin teriris. "Hanya bisa nangis," ujar dia tentang sekolah hasil sumbangan swadaya salah satu masyarakat yang terkesan seadanya. Atapnya banyak yang bolong dan papan tulisanya dari tripleks.

Traveling mengenalkan lingkungan lebih dekat. Terlebih dengan imbuhan kegiatan sosial, kegiatan traveling akan menjangkau daerah-daerah minim yang masih jauh dari kesejahteraan. Yang di Tanah Air, rata-rata daerahnya masih bergantung pada alam untuk menunjang kehidupannya.

Letsgotrip.community merupakan social traveler yang berupaya memberikan dampak sosial pada daerah yang dikunjungi. Komunitas memiliki visi menjadi wadah anak muda supaya bisa bermanfaat untuk seluruh alam, tidak hanya manusia namun seluruh kehidupan.

"Kita mau merubah mindset, traveling sambil sedikitsedikit kegiatan sosial," ujar Wendie. Sehingga treveling tidak sekadar selfie maupun mengabadikan pemandangan alam namun memberikan dampak positif pada masyarakat sekitar. Maka saat pendaftaran perjalanan selalu menyertakan informasi tentang

kegiatan sosial yang akan dilakukan ditempat lokasi.

Perjalanan wisata dapat diikuti anggota komunitas maupun non anggota. Untuk non anggota komunitas, biasanya ada penanggujawab dari anggota komunitas untuk memudahkan komunikasi.

Saat ini, komunitas memiliki program kegiatan yang tertuang dalam misi komunitas. Pertama, membuat kegiatan sosial. Kedua, menyalurkan minat bakat pemuda. Ketiga, melakukan traveling sosial. Dan Keempat, membantu pertumbuhan kesejahteraan di Indonesia. Dengan misi komunitas, kegiatan terangkum berupa traveling, education, sport, kultur maupun kuliner.

Letsgotrip.community tergolong selektif menyaring anak muda untuk menjadi anggotanya. Mereka akan melakukan sesi wawancara perihal pemahaman visi dan misi komunitas maupun kontribusinya pada komunitas. Pertimbangan lainnya, ada diskusi antara pengurus terkait penerimaan calon anggota tersebut. "Minimal hadir dalam kegitan kita," ujar Wendi sebagai tahap awalnya.

Adapun saat ini, jumlah anggota komunitas tercatat sebanyak 120-an anggota yang tersebar di wilayah Jabodetak. Di sisi lain, komunitas pun memiliki cabang di Bandung, Sidoarjo, Cianjur dan Jambi. Melalui para anggota dan riset, komunitas merencanakan tempat-tempat yang menjadi tujuan traveling.

Selain itu, komunitas banyak berkolaborasi dengan komunitas lain. Upaya tersebut cukup menguntungkan mengingat dari kolaborasi tersebut mereka sering kerja sama melakukan perjalanan sembari melakukan kegiatan sosial.

Mereka kerap mendatangi acara-acara komunitas yang juga beranggotakan para pengambil kebijakan. "Karena, kalau tidak punya relasi akan sulit untuk berkembang," ujar Yostia. din/E-6

Memaknai Kegiatan Sebagai Ibadah

Perjalanan wisata sambil melakukan kegiatan sosial bukan kegiatan yang sederhana. Ini karena para relawan maupun peserta harus menempuh perjalanan berbatu bahkan rela mengeluarkan uang untuk memperbaiki kendaraan motor. Meskipun begitu, mereka tidak kapok.

Yostia mengaku bahwa sebelum perjalanan dia sudah melakukan kesepakatan dengan partner satu sepeda motornya. "Kalau motor rusak (biaya perbaikan) ditanggung berdua," ujar dia tergelak yang juga memaknai kegiatan sebagai ibadah.

Dia betcerita, pernah saat di Banten, schok motor yang ditumpanginya sampai hancur karena melewati jalan berbatu sepanjang tiga jam. Perbaikannya membutuhkan biaya hingga jutaan rupiah.

Perjalanan yang terjal dan menempuh waktu dalam berjam-jam tidak menyurutkan semangat untuk berwisata sambil melakukan kegiatan sosial. Senyum anak-anak didik telah merebut hatinya.

Peningkatan prestasi anak didik atau anak didik yang bercita- cita menjadi relawan memberikan kebahagian tersendiri. "Setengah kebahagiaan aku ada di mereka," ujar dia yang telah melakukan kagiatan sosial selama tiga tahun ini.

Sementara, Wendie mengaku kegiatan sosial sembari berwisata menjadi cara nya untuk berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa. "Terima kasih atas kelengkapan tubuh saya dan rezeki yang didapatkan," ujar dia selain memaknai kegiatan sebagai ibadah. Baginya, setiap kegiatan yang dilakukannya merupakan bentuk kesadaran sebagai manusia.

Ia menyadari bahwa kegiatan yang dilakukan penuh tantangan bahkan menguras energi. Namun, semua berpulang bahwa semua kegiatan yang dilakukan semata-mata untuk mendapatkan ridho Alloh SWT.

"Saya disini untuk mencari bekal untuk kehidupan nanti walupun banyak tantangannya," ujar dia. Pria yang bekerja sebagai programmer pun berkeyakinan segala kebaikan akan selalu mendapatkan balasannya. din/E-6

Bahagia Mengajar di Pinggir Pantai

Sesekali, angin laut menyaput wajah. Bahkan alat tulis yang digunakan dalam proses belajar mengajar, tak luput dari terpaan angin. Itulah gambaran proses belajar oleh komunitas yang dilakukan di pinggir laut, penopang kehidupan penduduk sekitar.

"Jadi ngajarnya, kan, berhadapan dengan laut, temen-temen (relawan) sambil refreshing, itu menariknya," ujar Yostia dengan mata berbinar. Terkadang, dia dan teman-teman relawannya harus menjemput murid-murid yang tengah berenang di laut.

Kalau sudah begitu, anak didiknya akan berlarian menyembut para relawan bahkan minta pangku. "Badan mereka kan penuh pasir, jadi pasirnya menempel di baju, disitu ada kesenangan tersendiri," ujar dia.

Sudah hampir dua tahun ini, Yostia dan temanteman relawannya mengajar anak-anak nelayan di Pantai Tanjung Kait, Kabupaten Tangerang. Mereka membantu pelajaran di sekolah supaya anak-anak para nelayan ini tidak ketinggalan pelajaran.

"Ada anak usia kelas 5 SD yang belum bisa baca tulis," ujar dia tentang kemampuan belajar anak. Hal ini lantaran, sekolah tempat belajar terletak jauh dari tempat tinggal.

Setiap akan berangkat sekolah, orang tua yang berprofesi sebagai nelayan harus mengantarkan anak-anaknya. Padahal di pagi hari, mereka baru pulang dari melaut, badan terasa capek dan mata ngantuk. Akibatnya, anak-anak dibiarkan tidak masuk sekolah.

Saat ini, kegiatan belajar mengajar sudah diterima masyarakat setempat. Sebelumnya, Yostia mengaku harus jemput bola dengan mengetuk rumah satu per satu untuk mengajak anak usia SD kelas 1-6 belajar bersama. Bahkan, mereka kerap diminta pungutan liar (Pungli) olah pemuda setempat, satu orang sebesar 20 ribu sampai 30 ribu rupiah.

"Sekarang masyarakat mau menerima. Pemuda yang dulu meminta Pungli, sekarang memberikan lahan parkir untuk relawan," ujar dia. Materi pelajaran pun berkembanga tidak hanya pelajaran sekolah melainkan ekosistem laut. Mereka mengenalkan ekosistem laut melalui cerita, gambar maupun kerajinan.

Meski relawan harus menempuh perjalanan selama satu jam dengan kendaraan bermotor, mereka tetap semangat mengajar anak-anak nelayan di pesisir pantai. Siswa-siswinya juha tidak kalah semangat, saat relawan baru datang dengan kendaraan bermotor, para siswa berlari mengejar, mengikuti kendaraan para relawan yang tengah menuju tempat belajar mengajar. din/E-6

Baca Juga: