Singapura membeli pembangkit listrik tenaga air yang diproduksi di Laos. Pembelian ini menjadi langkah pertama dalam rencana ambisius negara kecil itu untuk mengimpor energi terbarukan yang hanya memiliki sedikit ruang untuk diproduksi di dalam negeri.

Keppel Electric, yang telah mengantongi lisensi pemerintah untuk impor listrik, pada bulan Juni mulai mengimpor pembangkit listrik tenaga air dari Electricite du Laos. Perusahaan nantinya akan membawa hingga 100 megawatt selama fase percontohan dua tahun, dengan operasi komersial skala penuh yang nantinya akan mengikuti.

Mengutip Nikkei Asia, Singapura bertujuan untuk mencapai net zero emission atau emisi karbon nol bersih pada atau sekitar tahun 2050. Namun, wilayah Singapura yang kecil membuatnya tidak cocok untuk pembangkit listrik tenaga angin, panas bumi, dan hidroelektrik. Di sana, ladang panel surya besar bukanlah pilihan yang layak, sementara panel surya atap hanya dapat menghasilkan begitu banyak energi. Karena hal inilah negara kecil itu baru bisa mengandalkan impor.

Rencana impor energi Singapura bahkan meluas sampai ke Australia. Startup Australia, Sun Cable, bertujuan untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya multi-gigawatt di atas lahan seluas 12.000 hektar di gurun utara Australia. Listrik akan diekspor ke Singapura melalui kabel bawah laut sepanjang 4.200 kilometer.

Singapura bergantung pada gas alam untuk 95 persen listriknya, ketergantungan yang membuat negara itu terekspos ketika harga gas alam melonjak setelah invasi Rusia ke Ukraina. Pasalnya, hanya 3,2 persen dari kekuatannya berasal dari sumber terbarukan. Singapura pada bulan Oktober menetapkan target untuk mengimpor 4 gigawatt listrik rendah karbon pada tahun 2035. Angka itu setara 30 persen dari perkiraan total pasokan negara itu tahun itu.

Kesepakatan Laos dapat mempromosikan pembagian listrik di antara negara-negara di kawasan yang lambat mengadopsi praktik tersebut. Laos mulai mengekspor energi ke Thailand dan Malaysia bersama dengan Singapura baru-baru ini.

Eropa telah menjadi pionir dalam pembagian listrik lintas batas, sementara Asia Tenggara jauh tertinggal. Perjanjian Laos dengan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand adalah murni bilateral. Namun rencana Singapura menimbulkan kekhawatiran bahwa negara-kota itu, yang sudah bergantung pada Malaysia untuk sebagian besar airnya, pada akhirnya akan bergantung pada pemasok asing untuk jalur vital lainnya.

Malaysia dan Indonesia telah mengerem rencana ekspor, memprioritaskan pasokan energi domestik. YTL PowerSeraya Malaysia, sebuah perusahaan listrik yang berbasis di Singapura yang dimiliki oleh konglomerat Malaysia YTL Corporation, dijadwalkan untuk memulai uji coba ekspor pada awal 2022, tetapi rencana itu ditunda.

Perusahaan surya Portugis EDPR Sunseap telah mencapai kesepakatan dengan provinsi Kepulauan Riau di Indonesia untuk membangun ladang surya lepas pantai untuk memasok listrik di sana dan juga ke Singapura, tetapi pekerjaan belum dimulai. Meski Sunseap mengatakan mendapat dukungan dari pemerintah Indonesia dan Singapura, rencana tersebut masih membutuhkan persetujuan Indonesia.

"Sebagian besar negara ASEAN memiliki permintaan domestik untuk energi terbarukan mereka sendiri [kecuali Laos, yang ingin mengekspor kelebihan tenaga hidro yang dihasilkannya]. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Indonesia dan Malaysia, peluang ekspor ke Singapura perlu ditimbang dengan kebutuhan lokal, " kata Norman Waite, seorang analis di Institute for Energy Economics and Financial Analysis, seperti dikutip dari Nikkei Asia.

"Perlu diingat bahwa energi bersih yang diimpor ke Singapura diperhitungkan dalam tujuan dekarbonisasi Singapura, bukan tujuan negara pengekspor," tambahnya.

Baca Juga: