Polemik tentang penggunaan hydroxychloroquine itu berawal dari data yang dikembangkan oleh perusahaan analisis kesehatan yang berbasis di AS, Surgisphere.

WASHINGTON DC - Perhatian para ahli kesehatan dunia saat ini sedang tertuju pada perubahan sikap Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) dan sejumlah negara atas penggunaan hydroxychloroquine pada pasien virus korona.

Akhir bulan lalu, tepatnya 25 Mei, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan organ resmi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) itu menghentikan sementara pengujian obat malaria hydroxychloroquine pada pasien Covid-19 setelah adanya penelitian yang menyebutkan obat itu dianggap meningkatkan risiko kematian pada pasien virus korona.

WHO mengacu pada riset terbaru di jurnal medis The Lancet. Namun, pada Rabu (3/6) pekan lalu, WHO mengubah sikap dan memutuskan melanjutkan uji klinis obat hydroxychloroquine untuk terapi pengobatan pasien Covid-19.

Polemik tentang penggunaan hydroxychloroquine itu berawal dari data yang dikembangkan oleh perusahaan analisis kesehatan yang berbasis di AS, Surgisphere. Data Surgisphere itu digunakan dalam penelitian yang diterbitkan The Lancet, dan New England Journal of Medicine.

Kecerobohan "The Lancet"

Yang menjadi masalah adalah kecerobohan The Lancet dan New England Journal of Medicine mengunakan data yang disajikan Surgisphere. Padahal, Surgisphere bukanlah lembaga kompeten tentang kesehatan dan tidak mempunyai pegawai yang layak untuk melakukan studi medis. Menurut laporan The Guardian, karyawan Surgisphere adalah penulis fiksi ilmiah dan model konten dewasa. Kepala eksekutif perusahaan itu, Sapan Desai, ikut serta dalam pembuatan makalah tersebut.

"Seorang karyawan yang terdaftar sebagai editor sains tampaknya menjadi penulis fiksi ilmiah dan seniman fantasi. Karyawan lain yang terdaftar adalah eksekutif pemasaran model konten dewasa dan pembawa acara," tulis The Guardian.

Perusahaan yang berbasis di Chicago itu mengeklaim telah memperoleh data dari seribu lebih rumah sakit (RS) di seluruh dunia, yang kemudian digunakan oleh beberapa pemerintah di Amerika Latin untuk mengubah kebijakan perawatan virus korona.

Selain itu, perusahaan itu memiliki online dengan peminat yang sangat terbatas, dengan hanya 100 pengikut di Linkedin dan kurang dari 200 di Twitter. Baru-baru ini, sebuah rubrik contact us di Surgisphere digunakan untuk mengarahkan khalayak ke templat WordPress dari halaman situs cryptocurrency yang meragukan.

Surgisphere didirikan Sapan Desai pada 2008 untuk menerbitkan buku pelajaran. Tidak ada yang tahu perusahaan itu tiba-tiba menjadi pemilik bank data internasional yang berisi 96.000 pasien dan 1.200 RS di seluruh dunia.

Berdasarkan data yang diberikan oleh Surgisphere itu, Lancet pada 22 Mei menerbitkan sebuah studi yang menyatakan bahwa obat antimalaria hydroxychloroquine, memiliki hubungan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi pada pasien Covid-19. Inilah salah satu alasan mengapa WHO sempat menghentikan uji coba klinis obat hydroxychloroquine.

Klaim studi Lancet segera dianggap serius di seluruh dunia. Banyak portal media menggembar-gemborkannya. Sampai-sampai imbauan Presiden AS, Donald Trump, yang merekomendasikan hydroxychloroquine sebagai obat Covid-19, ditolak oleh publik.

Banyak Kesalahan

Ternyata, banyak kesalahan dan penipuan yang dilakukan Surgisphere. Ketika The Guardian Australia menghubungi lima rumah sakit di Melbourne dan dua di Sydney, mereka menyangkal ikut penelitian, Bahkan, mereka menyatakan tidak pernah dihubungi Surgisphere. RS di Australia itu juga mengaku tidak pernah memberikan data untuk penelitian itu. Jumlah kematian karena Covid-19 di Australia oleh Surgisphere juga tidak sesuai dengan data pemerintah negara itu.

Akhirnya, pada Rabu pekan lalu, Lancet membuat pernyataan terkait dengan studi hydroxychloroquine itu. "Kami akan memperbarui pemberitahuan ini segera setelah kami memiliki informasi lebih lanjut," kata The Lancet.

WHO kemudian mengubah sikapnya dan melanjutkan uji klinis Hydroxychloroquine setelah Lancet mengatakan, sedang menganalisis data dan metode penelitian Surgisphere yang buruk pada obat anti-malaria itu.

Saat ini, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang menggunakan Hydroxychloroquine untuk pengobatan penderita Covid-19. Negara-negara lain yang masih menggunakan obat antimalaria tersebut adalah India, yang merupakan produsen Hydroxychloroquine. Di India tidak ada efek samping utama yang dilaporkan dari penggunaan Hydroxychloroquine sebgai obta pencegahan.

Dua negara lain yang juga masih menggunakan Hydroxychloroquine adalah Brasil dan Malaysia. Brasil sempat maju mundur tetapi akhirnya tetap menggunakannya. Sedangkan Malaysia masih akan terus memonitor efek samping penggunaan obat tersebut. SB/opindia/P-4

Baca Juga: