Warga yang sudah mendapatkan vaksin dosis pertama hingga hari ini telah mencapai 138 juta atau sebesar 67 persen dari target.

JAKARTA - Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, menyebut Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki risiko tinggi penyebaran varian SARS-CoV-2 B.1.1.529 atau varian Omicron.

Selain Indonesia, ada 10 negara lain di bagian Asia Tenggara yang masuk perkiraan ini. Kesepuluh negara tersebut, yaitu Bangladesh, Bhutan, Korea Utara, India, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste. "WHO memperkirakan negara di bagian Asia Tenggara memiliki risiko sangat tinggi," kata Menkes dalam keterangannya, di Jakarta, Rabu (1/12).

Menkes mengungkapkan berdasarkan penelitian dan pengamatan sementara oleh para peneliti global, varian Omicron tidak menimbulkan gejala klinis yang lebih parah dari varian Delta. Dengan begitu, bila varian Omicron teridentifikasi di Indonesia, diperkirakan tidak akan membuat kolaps keterisian rumah sakit rujukan Covid-19.

Penelitian sementara menyebutkan varian Omicron memiliki tingkat penularan yang lebih cepat dari varian Delta. "Dengan karakteristik mutasi protein spike yang dimiliki varian Omicron, diprediksi varian ini dapat menggantikan Delta," kata Menkes.

Ada 249 Kasus

Dipastikan varian Omicron belum teridentifikasi di Indonesia berdasarkan pemantauan dan hasil pemeriksaan Whole Genome Sequencing (WGS). Sampai saat ini, tambah Menkes, sudah ada 249 kasus yang terkonfirmasi varian Omicron di 21 negara di dunia. Negara yang melaporkan kasus varian Omicron tertinggi yaitu Afrika Selatan dengan 128 kasus.

Menkes berjanji pemerintah akan memperketat pengawasan seluruh pintu masuk Indonesia untuk mencegah penyebaran varian ini. Kemenkes akan menggenjot pemeriksaan WGS untuk mendeteksi varian yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan ini.

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, mengatakan jumlah vaksinasi Covid-19 yang saat ini mengalami penurunan kemungkinan disebabkan oleh kondisi penularan yang semakin membaik dan terkendali di Indonesia.

"Kalau kita lihat penurunan vaksinasi mungkin faktornya karena kondisi penularan ini yang sudah semakin baik," kata Nadia dalam dialog bertajuk Kasus Turun Percepatan Vaksinasi Terus Berjalan yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu (1/12).

Nadia menjelaskan menurunnya jumlah orang yang melakukan vaksinasi juga disebabkan masyarakat tidak lagi terburu-buru untuk mendapatkan vaksin, sehingga cenderung menunggu atau memilih jenis vaksin tertentu.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kemenkes, masyarakat yang sudah mendapatkan dosis pertama hingga hari ini, telah mencapai 138 juta atau sebesar 67 persen, sedangkan yang mendapatkan dosis kedua sebanyak 95,5 juta atau 45,8 persen.

Namun, dari seluruh target sasaran yang ada pada usia di atas 12 tahun, pada vaksinasi kelompok penduduk lanjut usia (lansia) baru mencapai 53 persen dari total lansia yang mendapatkan vaksinasi dosis pertama dan 34 persen pada dosis kedua.

"Di sisi lain, kalau kita lihat daerah-daerah, hampir dua, tiga minggu ini terjadi penurunan penyuntikan per harinya. Ini disebabkan banyak daerah yang menunggu untuk bisa mendapatkan vaksin Sinovac, ya," kata dia.

Menurut Nadia, bila dilihat dari peta penyediaan vaksin Covid-19 di semester pertama, Indonesia banyak menggunakan vaksin Sinovac, karena vaksin jenis lain belum bisa menyuplai secara penuh kebutuhan masyarakat pada waktu itu.

Baca Juga: