Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak negara-negara anggota untuk meningkatkan akses ke perawatan kesuburan yang terjangkau dan berkualitas tinggi bagi mereka yang membutuhkan, mengingat sekitar 17,5 persen dari populasi orang dewasa mengalami infertilitas pada 2022.

Dalam laporan bertajuk "Infertility Prevalence Estimate 1990 - 2021", angka itu menunjukkan bahwa 1 dari setiap 6 orang dewasa di seluruh dunia mengalami gangguan sistem reproduksi, yang ditandai dengan kegagalan mencapai kehamilan setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual secara teratur. Prakiraan itu sendiri didapat dari data prevalensi infertilitas yang dicatat WHO selama periode 1990 sampai 2021.

Atas dasar itu, WHO mendorong perlunya kebijakan dan pembiayaan publik yang lebih baik dapat secara signifikan meningkatkan akses ke pengobatan terkait infertilitas. Menurut WHO, mengatasi infertilitas merupakan komponen penting dari kesehatan dan hak seksual dan reproduksi.

Jika infertilitas tidak ditangani, hal itu dapat dapat menyebabkan tekanan, stigma, dan kesulitan keuangan yang signifikan, memengaruhi kesejahteraan mental dan psikososial orang. Kegagalan untuk mengatasi infertilitas akan menghambat upaya global untuk memastikan akses universal terhadap hak dan kesehatan seksual dan reproduksi.

Memahami besarnya infertilitas sangat penting untuk memantau, menilai, dan meningkatkan akses yang adil ke layanan perawatan kesuburan yang berkualitas, serta mengatasi faktor risiko dan konsekuensi infertilitas. Namun, solusi untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan infertilitas - termasuk teknologi reproduksi berbantuan seperti Fertilisasi In Vitro (IVF) yang juga dikenal sebagai bayi tabung- tetap tidak dapat diakses oleh banyak orang karena biaya tinggi, stigma sosial, dan ketersediaan yang terbatas.

Terlebih, di sebagian besar negara saat ini, perawatan kesuburan sebagian besar dibiayai sendiri dan karenanya sering mengakibatkan biaya keuangan yang sangat besar. Biaya yang tinggi inilah yang sering mencegah orang mengakses perawatan infertilitas, atau bahkan dapat melambungkan mereka ke dalam kemiskinan sebagai akibat dari mencari perawatan.

"Jutaan orang menghadapi bencana biaya perawatan kesehatan setelah mencari pengobatan untuk infertilitas, menjadikan ini masalah ekuitas utama dan terlalu sering, perangkap kemiskinan medis bagi mereka yang terkena dampaknya," kata Pascale Allotey, Direktur Kesehatan dan Penelitian Seksual dan Reproduksi di WHO, termasuk Program Khusus Riset, Pengembangan, dan Pelatihan Riset Reproduksi Manusia (HRP) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Atas dasar itu, WHO mendorong perlunya kebijakan dan pembiayaan publik yang lebih baik dapat secara signifikan meningkatkan akses ke pengobatan dan sebagai hasilnya melindungi rumah tangga yang lebih miskin agar tidak jatuh ke dalam kemiskinan.

WHO juga mendesak perlunya ketersediaan data nasional yang lebih besar tentang infertilitas yang dipisahkan berdasarkan usia dan penyebab untuk membantu mengukur infertilitas, serta mengetahui siapa yang membutuhkan perawatan kesuburan dan bagaimana risiko dapat dikurangi.

Baca Juga: