Dampak pelemahan rupiah terhadap dollar AS bisa menjalar ke harga bahan pangan dan energi yang selama ini masih bergantung pada impor.

JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang berkepanjangan dikhawatirkan membuat harga pangan dalam negeri sangat rentan, mengingat Indonesia masih mengandalkan impor pangan, termasuk beras. Karena itu, produksi dalam negeri harus ditingkatkan agar harga pangan domestik tak rentan terdampak dinamika ekonomi global.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan tingkat inflasi mengalami perbaikan cukup signifikan hingga bisa mencapai 2,84 persen secara tahunan (yoy) per Mei 2024 atau di kisaran target 1,5-3,5 persen. Meski demikian, dia memperingatkan pemerintah dan otoritas terkait perlu mewaspadai dampak pelemahan nilai rupiah terhadap dollar AS yang menyentuh angka 16.400 rupiah per dollar AS.

"Dampaknya bisa menjalar ke harga bahan pangan dan energi. Ekonomi domestik masih bergantung pada impor bahan pangan terutama beras," tegasnya dalam diskusi Indef bertema Presiden Baru, Persoalan Lama, di Jakarta, Selasa (25/6).

Esther menjelaskan penguatan dollar AS terhadap rupiah sudah terlihat dampaknya pada 2023 ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), baik subsidi dan nonsubsidi. Angka penugasan BBM ini membengkak di APBN.

Selain itu, bahan pangan masih sangat rentan terhadap kenaikan harga. Hal ini diperparah dengan perubahan iklim dan anomali cuaca yang nampaknya belum bisa dimitigasi dengan baik oleh pemerintah sehingga mempengaruhi produksi beras yang rendah.

"Hal-hal tersebut membuat Indef masih memproyeksikan inflasi di tingkat 3,2 persen pada akhir periode 2024. Inflasi ini yang akan menggerus daya beli," ucapnya.

Pemerintah, tegasnya, harus mendorong peningkatan daya beli dengan mengendalikan tingkat inflasi pada administered price dan volatile food serta mendorong ekspektasi konsumsi ke arah positif.

Genjot Produksi

Adapun Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, mengatakan peningkatan produksi dalam negeri selalu menjadi poin penting yang secara konsisten didorong pemerintah. Menurutnya, dengan kondisi harga pangan global mulai menunjukkan tren tinggi, diiringi pelemahan rupiah, dia mendorong adanya peningkatan produksi pangan pokok strategis yang bersumber dari dalam negeri.

Menilik data di The FAO Food Price Index (FFPI), pada Mei 2024 indeks harga pangan naik 1,1 poin dari bulan sebelumnya menjadi 120,4 poin. Sementara pada awal 2024, indeks masih berada di 117,7 poin.

FFPI sendiri adalah pengukuran perubahan harga bulanan lingkup internasional untuk sejumlah komoditas pangan. Indeks ini terdiri dari rerata harga lima komoditas, antara lain sereal, minyak nabati, produk susu, daging, dan gula.

"Kita harus fokus ke produksi dalam negeri. Ini waktunya kita lakukan peningkatan produksi. Apalagi kurs dollar saat ini sedang tinggi, di atas 16.400 rupiah per dollar AS. Kita sangat ingin efek ekonomi dari importasi tidak hanya di negara mitra melulu, tapi kembali lagi ke Indonesia," ujar Arief secara terpisah.

Apabila peningkatan produksi dalam negeri berhasil diterapkan, tentunya pemerintah bisa kian memperkuat stok Cadangan Pangan Pemerintah (CPP). Ini karena dalam kondisi apa pun, jumlah stok CPP harus senantiasa mampu menopang berbagai program intervensi pemerintah ke pasar dan masyarakat.

"Jadi, hari ini Badan Pangan Nasional tentunya menyiapkan CPP, baik dari dalam maupun luar negeri. Ini semua demi CPP. Jadi, kenapa kita melakukan importasi, itu semata-mata untuk CPP. Tapi, adanya importasi tidak berpengaruh buruk ke harga petani kita, karena pemerintah terus pantau dan jaga di semua level rantai pasok kita, baik harga di produsen, pedagang, maupun konsumen," ungkap Arief.

Baca Juga: