Selain sentimen eksternal, terutama kelanjutan normalisasi moneter di Amerika Serikat (AS), tingginya kebutuhan valas di akhir tahun bakal berpotensi membuat rupiah terdepresiasi.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) diminta mewaspadai tekanan terhadap rupiah dalam beberapa hari terakhir. Imbauan itu disampaikan mengingat potensi tekanan makin besar menjelang akhir tahun, terutama karena kebutuhan valuta asing (valas) korporasi untuk pembayaran utang kepada kreditor luar negeri.

"Bank sentral semestinya sudah mencermati kondisi seperti ini karena siklusnya sudah berulang setiap akhir tahun," kata Anggota Komisi XI DPR, Amir Uskara, di Jakarta, Rabu (4/10). Hal lain, jelas Amir, yang harus diwaspadai adalah tekanan terhadap rupiah kadangkala hanya dipicu oleh sentimen dari eksternal akibat isu-isu yang kadangkala sengaja diembuskan oleh regulator atau spekulan di sejumlah negara, terutama Amerika Serikat (AS), tetapi dampaknya langsung menekan kurs rupiah secara dalam.

"Kondisi ini menunjukkan dana-dana spekulasi yang masuk ke dalam pasar keuangan kita cukup besar, sehingga sangat gampang berbalik jika ada isu, bukan karena fundamental ekonomi," kata Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR itu.

Secara terpisah, Chief Economist PT Bank CIMB Niaga, Adrian Panggabean, mengatakan kurs rupiah pada semester I-2017 bergerak relatif stabil dengan rata-rata berada di kisaran 13.300 karena ditopang oleh rendahnya defisit transaksi berjalan, turunnya indeks dollar (DXY) dan yield atau imbal hasil surat utang AS atau US Treasury, serta relatif membaiknya harga-harga komoditas dibanding tahun 2016.

Menariknya tingkat imbal hasil (yield) obligasi Indonesia serta naiknya peringkat investasi Indonesia menjadi fullinvestment grade country, turut mendorong masuk derasnya modal asing di (terutama) pasar obligasi Indonesia. Investment rating yang disematkan untuk Indonesia antara lain menyebabkan turunnya premi credit default swap (CDS) lima tahun ke bawah indeks 100 di bulan September yang merupakan tingkat terendah sejak data ini pertama kali dikumpulkan tahun 2004.

Total kepemilikan asing pada obligasi pemerintah sampai tanggal 22 September 2017 mencapai sekitar 817 triliun rupiah atau 40 persen dari jumlah obligasi rupiah yang dapat diperdagangkan. Kesemuanya menyebabkan turunnya yield obligasi Indonesia mencapai angka di kisaran 6,4-6,5 persen pada September 2017, serta naik tajamnya cadangan devisa sehingga mencapai 128 miliar dollar AS atau rekor tertinggi dalam sejarah Indonesia.

"Ke depan, kurs akan tetap dipengaruhi oleh dinamika ekonomi domestik, indeks dollar AS, dan relative attractiveness dari obligasi Indonesia versus US Treasury," kata Adrian. Dia memperkirakan kurs akan bergerak stabil di kisaran 13.100-13.400 hingga tahun 2018, dengan rata-rata kurs pada angka 13.300.

Bersifat Temporer

Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo, menyatakan depresiasi rupiah terhadap dollar AS bersifat temporer atau sementara karena dipicu oleh rencana Presiden AS, Donald Trump mengeluarkan kebijakan reformasi perpajakan yang mendapat dukungan dari parlemen. Selain itu ada pernyataan dari pimpinan The Fed yang akan menaikkan suku bunga acuannya Fed Fund Rate (FFR) pada akhir tahun ini.

Langkah tersebut dinilai akan mendorong ekonomi AS tumbuh lebih cepat sehingga mendapat respon dari investor dengan mengalihkan dananya ke dalam instrumen investasi di AS. Hal itu menyebabkan dollar AS terapresiasi terhadap hampir semua mata uang regional. Dia memastikan, kurs rupiah yang sudah terdepresiasi hingga level 13.542 per dollar AS bakal stabil, apalagi secara kumulatif masih berada di rentang asumsi bank sentral dan pemerintah.

bud/E-10

Baca Juga: