Beberapa sumber volatilitas bagi pasar modal akan terus ada, seperti The Fed yang bisa saja tiba-tiba lebih agresif ataupun risiko politik global yang meningkat seperti yang terjadi saat ini di Ukraina.

JAKARTA - Kinerja pasar modal di dalam negeri diperkirakan makin membaik tahun ini seiring pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19. Bahkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir 2022 diprediksi bisa tembus level 7.000, terutama didorong oleh peningkatan konsumsi domestik.

"Kami prediksi IHSG mencapai 7.400 untuk akhir 2022. Earning growth (peningkatan pendapatan) akan tumbuh sekitar 15 persen. Sekitar dua pertiga datang dari perbankan dan banyak juga di-drive (dipicu) oleh domestic consumption (konsumsi domestik)," kata Head of Equity Research and Strategy Mandiri Sekuritas Adrian Joezer saat jumpa pers secara daring yang dipantau di Jakarta, Rabu (23/2).

Sebagai perbandingan, sepanjang 2021, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan kenaikan IHSG sebesar 10,08 persen year to date (ytd), dengan penutupan di level 6.581,48, dibanding periode sama tahun lalu di posisi 5.735,46.

Menurut Adrian, pada tahun ini, perekonomian domestik akan pulih setelah tahun lalu, pasar ekspor yang lebih dahulu positif seiring sejumlah negara lain pulih lebih cepat dibandingkan Indonesia. Dia menambahkan kenaikan IHSG juga ditopang oleh peningkatan ekspektasi pendapatan dan laba emiten yang telah tampak pada semester II-2021.

"Kalau kita lihat sebelum bulan Agustus, memang konsensus earning share itu up and down dan cenderung lebih ke arah flattening. Tapi Agustus hingga Desember itu trennya naik ke atas terus, sehingga memang mencerminkan optimisme yang mulai terbangun," ujar Adrian.

Kendati demikian, Adrian menyampaikan risiko-risiko global berpotensi menjadi tantangan bagi IHSG untuk mencapai level 7.400, salah satunya kebijakan pengetatan moneter oleh bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed).

Namun, lanjut Adrian, di sisi lain proses pemulihan perekonomian sendiri dinilai masih sangat awal. Kebijakan kenaikan suku bunga oleh The Fed, menurutnya tidak perlu sepenuhnya diikuti oleh Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter di Tanah Air.

Dia menambahkan, beberapa sumber volatilitas bagi pasar modal akan terus ada seperti The Fed yang bisa saja tiba-tiba lebih agresif ataupun risiko politik global yang meningkat seperti yang terjadi saat ini di Ukraina.

Seperti diketahui, kinerja pasar modal di Tanah Air terus bertumbuh. Per 29 Desember 2021, total jumlah investor di pasar modal Indonesia mencapai 7,48 juta investor tumbuh 92,7 persen (yoy) atau meningkat hampir 7 kali lipat dibandingkan pada 2017. Secara rinci, pertubuhan investor ritel pada 2021 ditempati kalangan milenial dan gen-Z dengan usia kurang dari 40 tahun, yakni sebesar 88 persen dari total investor ritel baru.

Penguatan Literasi

Peneliti dan Akademisi Universitas Paramadina, Faris Budiman Annas, menilai mengiringi pertumbuhan investor ritel, pilihan berbagai instrumen investasi di luar otoritas bursa efek pun semakin menjamur. Mulai dari aset kripto hingga opsi biner menjadi pilihan instrumen investasi yang membuka mata investor ritel pemula.

"Sayangnya, semangat untuk berinvestasi di kalangan investor pemula tidak diiringi oleh pemahaman terkait risiko terhadap aktivitas investasi," ujarnya seperti dikutip dari Antara, Rabu (23/2).

Menurut Faris, menjadi investor saja tidak cukup. Namun, setiap pelaku investasi perlu menjadi investor/ trader yang cerdas.

Baca Juga: