Ramadan diyakini menjadi momentum untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dalam negeri, namun di sisi lain, daya beli masyarakat saat ini dibayangi lonjakan harga pangan dan kenaikan PPN yang dikhawatirkan makin membebani mereka.

JAKARTA - Pemerintah harus dapat mengoptimalkan bulan Ramadan untuk menjadi momentum pemulihan ekonomi seiring meningkatnya aktivitas masyarakat. Sayangnya, potensi peningkatan konsumsi pada Ramadan dibayangi kenaikan pajak penjualan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai April mendatang.

"Berkah Ramadan dapat menjadi pendorong pemulihan ekonomi karena di bulan ini umat Islam meningkatkan amal ibadahnya termasuk ibadah yang berdampak sosial dan ekonomi," kata Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hidayatullah Muttaqin, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Minggu (27/3).

Menurut dia, adanya kegiatan berbuka dan sahur, shadaqah dan zakat pada Ramadan akan menaikkan konsumsi masyarakat dalam perekonomian. Dia menyebut naiknya belanja masyarakat selama Ramadan pada triwulan II-2021 turut mengangkat pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam produk domestik bruto Indonesia.

Jika pada triwluan II-2019 pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga year on year (yoy) sebesar 5,18 persen, triwulan II-2020 terkontraksi -5,52 persen, triwulan I-2021 sebesar -2,21 persen, pada triwulan II-2021 sebesar 5,96 persen.

Potensi pada Ramadan tahun ini untuk mendorong pemulihan ekonomi menjadi semakin besar karena situasi pandemi di gelombang ketiga Omicron mulai terkendali. Hal ini juga sangat terbantu dengan adanya program vaksinasi untuk memperkuat kekebalan individu dan membangun kekebalan komunitas.

Hanya saja momentum bulan Ramadan tahun ini cukup terganggu dengan gejolak harga dan kelangkaan minyak goreng dan komoditas lainnya. Muttaqin merujuk data SP2KP Kementerian Perdagangan, rata-rata harga minyak goreng di tingkat nasional di bulan Maret 2022 dibandingkan Maret 2021 naik di atas 30 persen.

Sementara itu, komoditas lain seperti kedelai impor naik sekitar 15 persen, gula pasir lebih dari 9 persen, tepung terigu hampir 8 persen, dan cabai merah 10 persen. Masyarakat juga menghadapi tekanan naiknya harga elpiji nonsubsidi pada akhir Desember 2021 dan akhir Februari 2022.

Konsumsi Tertekan

Kenaikan harga-harga bahan pangan tersebut menggerus daya beli masyarakat. Selain itu, peningkatan harga minyak mentah dan gas alam di pasar global juga menjadi sumber ancaman inflasi ke depannya bagi Indonesia melalui kebijakan kenaikan harga BBM di pasar domestik.

Selain lonjakan harga pangan, daya beli masyarakat akan menghadapi tekanan menyusul kebijakan pemerintah menaikkan PPN menjadi 11 persen dari 10 persen mulai April mendatang.

"Sebenarnya ada dua sisi kalau pajak. Satu sisi kita lihat dalam bentuk pembangunan, itu dari sisi pemerintah, di sisi lain ada kemampuan membeli masyarakat," ujar pengamat ekonomi dari Universitas Hasanuddin Makassar, Prof Abdul Hamid Paddu, saat dihubungi di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat pekan lalu.

Menurut dia, di sisi pemerintah selama dua tahun pandemi Covid-19, terjadi defisit anggaran dan negara tentu butuh pembiayaan pembangunan termasuk infrastruktur serta kesehatan, sehingga tidak bisa menaikkan dan menarik pajak, serta berutang untuk keberlangsungan pembangunan tersebut.

"Karena situasinya pandemi dan ekonomi tidak jalan, terpaksa substitusinya adalah menggunakan utang," papar Guru Besar Unhas itu.

Baca Juga: