Ekspektasi pemulihan ekonomi yang cepat berdampak pada peningkatan inflasi yang di Amerika Serikat (AS) dan potensi response policy sehingga memicu outflow dari emerging market, termasuk Indonesia.

JAKARTA - Pemerintah terus berusaha melakukan pendalaman pasar keuangan guna meminimalisir dampak dari capital outflow atau aliran modal keluar asing.

"Saat capital outflow terjadi, itu menekan nilai tukar dan Surat Berharga Negara (SBN). Kita terus berusaha melakukan pendalaman pasar sektor keuangan sehingga dampak dari spill over dari negara lain itu bisa diminimalkan," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat Raker bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (14/6).

Menkeu Sri Mulyani mengatakan pihaknya juga mewaspadai potensi penurunan daya dukung investor global untuk pembiayaan defisit fiskal dari sisi pasar SBN, sehingga pemerintah juga akan melakukan penguatan dari sektor fiskal dan potensi pembiayaan.

"Saat ini kami masih memiliki Surat Keputusan Bersama (SKB) dari Pak Gubernur (BI) yang bisa melakukan langkah sebagai standby buyer tapi kita perlu mengembalikan dan melakukan penguatan fiskal dan potensi pembiayaan," ujar Sri Mulyani.

Kemudian Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga mewaspadai dampak dan kecepatan pemulihan sektor korporasi yang berbeda-beda akibat Covid-19. Menkeu mengatakan ada korporasi yang kontribusi pertumbuhannya tinggi dan ada yang masih rendah, sehingga KSSK melakukan analisa sektor rill untuk memetakan dampak yang ditimbulkan sektor rill dan korporasi.

"Hingga Mei, sektor korporasi belum mengalami pemulihan secepat yang diharapkan. Beberapa korporasi dengan pemulihan yang lambat berpotensi memberikan spill over ke sektor keuangan, seperti tourism," jelas Sri Mulyani.

Selain itu, KSSK juga akan melakukan intervensi agar sektor keuangan, terutama perbankan, bisa memberikan fungsi intermediasi untuk mendorong pertumbuhan sektor riil. Menkeu mengatakan pemerintah tidak mungkin terus mengandalkan instrumen fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Injeksi Lukiduitas

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana untuk APBN 2021 senilai 115,87 triliun rupiah hingga 8 Juni 2021, yang terdiri dari 40,41 triliun rupiah melalui lelang utama dan 75,46 triliun rupiah melalui lelang tambahan (GSO).

"Tahun lalu, ada 473,4 triliun rupiah, tahun ini 115 triliun rupiah, ini salah satu koordinasi dengan KSSK bagaimana moneter mendukung fiskal tapi lebih dari itu juga mendukung KSSK karena ini menambah likuiditas," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat Raker bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, kemarin.

Melalui pembelian SBN tersebut, lanjut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, likuiditas perbankan sangat longgar yang tercermin pada rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga yang tinggi yakni 33,67 persen dan pertumbuhan dana pihak ketiga sebesar 10,94 persen.

Kemudian likuiditas perekonomian juga meningkat yang tercermin pada uang beredar dalam arti sempit dalam (M1) yang tumbuh 17,4 persen dan dalam arti luas (M2) yang tumbuh 11,5 persen (yoy) pada April 2021.

Perry Warjiyo juga mengatakan BI menambah likuiditas (quantitave easing) di perbankan sebesar 93,42 triliun rupiah per 8 Juni 2021, sehingga total injeksi likuiditas ke pasar uang dan perbankan sejak 2020 mencapai 819,9 triliun rupiah atau 5,30 persen PDB. "Jadi dari sisi stabilitas moneter itu kelihatan dari inflasi yang terkendali likuiditas juga longgar," ujar Perry Warjiyo.

Baca Juga: