Fundamental atau struktur ekonomi Indonesia sangat lemah sehingga berisiko terperosok dapam krisis.
JAKARTA - Indonesia dibayang-bayangi ancaman krisis moneter. Apalagi intervensi oleh Bank Indonesia (BI) selama ini gagal mengatasi pelemahan nilai tukar. Krisis bakal sulit terhindarkan apabila kondisi seperti ini terus berlanjut.
"Apabila defisit neraca transaksi berjalan membesar dan investor asing kabur dari Indonesia, menjual surat utang pemerintah dan surat utang Bank Indonesia, maka hampir dapat dipastikan ekonomi Indonesia akan terjerumus ke dalam krisis moneter," ungkap Managing Director PEPS Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, di Jakarta, Minggu (12/5).
Anthony memaparkan fundamental atau struktur ekonomi Indonesia sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari transaksi internasional atau neraca transaksi berjalan (current account) mengalami defisit kronis.
Transaksi berjalan hanya membaik sementara saja, ketika harga komoditas melonjak tinggi, seperti terjadi sejak kuartal III-2021 sampai kuartal I-2023. Setelah itu, setelah harga komoditas menjadi normal kembali, transaksi berjalan Indonesia mulai mencatat defisit lagi, sejak kuartal II-2023 sampai sekarang. Transaksi berjalan adalah transaksi antara penduduk Indonesia dengan penduduk internasional, tidak termasuk transaksi modal atau finansial (investasi).
Kemudian, lanjutnya, upaya BI dengan menerbitkan tiga jenis surat utang Bank Indonesia, yaitu SRBI (Sertifikat Rupiah Bank Indonesia), SVBI (Sekuritas Valas Bank Indonesia), SUVBI (Sukuk Valas Bank Indonesia), untuk menarik utang luar negeri, sebagai pengganti surat utang pemerintah yang dilepas investor asing, dan untuk intervensi kurs rupiah yang terus anjlok.
"Kebijakan BI ini sangat bahaya. Setelah utang luar negeri digunakan untuk membiayai defisit fiskal (APBN), kini utang luar negeri digunakan untuk intervensi kurs rupiah. Selain itu, kebijakan ini juga menunjukkan BI sudah kehabisan dollar untuk intervensi," tegas Anthony.
Namun, lanjutnya, upaya BI sejauh ini gagal. Tekanan terhadap rupiah makin hebat. Setelah cadangan devisa turun 3,6 miliar dollar AS pada Maret 2024, cadangan devisa sepanjang April 2024 masih turun 4,2 miliar dollar AS.
Dampaknya, kurs rupiah sepanjang April 2024 juga turun cukup signifikan, dari 15.880 rupiah per dollar AS pada 29 Maret lalu menjadi 16.255 rupiah per dollar AS pada 30 April.
BI mencatat cadangan devisa per April 2024 turun posisi bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 140,4 miliar dollar AS atau 2.257 triliun rupiah. Berdasarkan data yang dirilis BI, tren penurunan cadangan devisa RI terjadi sejak awal 2024, meski sempat naik pada periode akhir 2023.
Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rizal Edi Halim, mengatakan tergerusnya cadangan devisa pada April tidak terlepas dari upaya bank sentral menahan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
"Apabila nilai tukar rupiah melemah maka kita harus menambah cadangan dollar AS untuk mengimportasi. Belum lagi transaksi transaksi mata modal yang menggunakan dollar AS, semuanya memberi efek pada terkurasnya cadangan devisa kita," ucap Rizal.
Impor Meningkat
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan posisi cadangan devisa yang tergerus ini diakibatkan beberapa faktor, seperti kenaikan nilai impor akibat rupiah melemah terhadap dollar AS. Meskipun volume impor tetap, nilai impor naik karena rupiah terus melemah terhadap dollar AS
Faktor kedua, harga minyak dan energi terus meningkat karena suplai minyak di dunia berkurang akibat dampak konflik geopolitik antara Iran-Israel, Rusia-Ukraina yang merupakan negara-negara produsen energi dan minyak.