Sepanjang tahun ini, kurs rupiah sudah melemah 247 poin menjadi 15.646 rupiah per dollar AS atau melampaui target di APBN 2024 sebesar 15.000 rupiah per dollar AS.

JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu mewaspadai tren pelemahan rupiah saat ini. Pemerintah perlu berkaca dari pelemahan nilai tukar ringgit Malaysia terhadap dollar Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu yang sempat menyentuh titik terendah sejak krisis moneter pada 1998.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB Suhartoko, menuturkan pelemahan rupiah terhadap dollar AS cukup banyak penyebabnya. Dari sisi fundamental adalah meningkatnya inflasi Indonesia, sehingga selisih inflasi Indonesia terhadap AS membesar.

Faktor berikutnya peningkatan suku bunga AS atau penurunan suku bunga obligasi di Indonesia sehingga memicu aliran modal asing keluar atau capital outflow dari pasar keuangan di Tanah Air. Kondisi itu akan mengurangi penawaran dollar AS di Indonesia.

"Berikutnya adalah defisit neraca transaksi berjalan yg terus-menerus yang mencerminkan meningkatnya permintaan dollar AS sebagai mata uang utama," ujar Suhartoko kepada Koran Jakarta, Selasa (27/2).

Yang tidak kalah pentingnya, lanjut dia, adalah meningkatnya risiko ekonomi, keuangan, dan politik sehingga akan menimbulkan sentimen negatif terhadap rupiah.

Seperti diketahui, kurs rupiah terhadap dollar AS sepanjang tahun ini melemah 1,60 persen. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam perdagangan, Selasa (27/2), berada di level 15.646 rupiah per dollar AS, melemah 247 poin dari penutupan akhir tahun lalu, yakni 29 Desember 2023 di posisi 15.399.

Tren pelemahan tersebut berpotensi berlanjut ke depan seiring ketidakpastian global yang terus meningkat. Kondisi itu bakal membuat pemerintan kesulitan mencapai target dalam asumsi makro di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di level 15.000 rupiah.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan Indonesia juga harus belajar dari krisis finansial pada 1997. Kalau dulu pemicunya krisis mata uang bath Thailand, sekarang suku bunga bang sentral AS atau the Fed.

Tingkat suku bunga Fed ini yang tak kunjung turun mengakibatkan BI juga tidak menurunkan tingkat suku bunga untuk alasan pengendalian inflasi. Terlebih lagi, ada kenaikan harga beras yang mendorong inflasi pangan.

"Kita harus hati-hati, takutnya kondisi lesu karena tingkat suku bunga tinggi dan inflasi tinggi. Maka yang harus dilakukan adalah menjaga fundamental ekonomi Indonesia agar stabilitas harga dan nilai tukar dengan cara menjaga pasokan di pasar," jelas Esther.

Tekanan Eksternal

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan perlunya berhati-hati karena rupiah dan mayoritas mata uang Asia, pekan lalu, melemah lantaran kebijakan the Fed yang belum akan menurunkan suku bunga acuannya.

The Fed beralasan ingin memastikan kalau inflasi di AS sudah benar-benar terkendali.

Pergerakan rupiah, kata Aloysius, memang lebih baik dibanding dengan mata uang lain, seperti won Korea Selatan, ringgit Malaysia, dan baht Thailand yang masing-masing melemah 3,69 persen, 4,27 persen, dan 5,31 persen. Rupiah sendiri tercatat melemah 1,68 persen dari level akhir Desember 2023.

"Pergerakan nilai tukar suatu mata uang juga menjadi cermin beres tidaknya pengelolaan perekonomian negara," kata Aloysius.

Baca Juga: