Radikalisme, pornografi yang marak di media sosial, dan narkoba mulai masuk pada satuan pendidikan.
JAKARTA - Masyarakat diminta mewaspadai upaya pelemahan negara yang masuk melalui lembaga pendidikan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Pelemahan ini di antaranya melalui konten-konten radikalisme, pornografi yang marak melalui media sosial, dan narkoba yang sudah menyasar hingga ke sekolah-sekolah.
Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Supriano, mengatakan radikalisme, pornografi yang marak di media sosial, dan narkoba mulai masuk pada satuan pendidikan. "Ini adalah salah satu cara melemahkan negara kita. Untuk itu, kami menyampaikan kepada anak-anakku dan kepala sekolah serta guru, tolong perhatikan dan lihat bersama apabila ada indikasi yang mengkhawatirkan dan mencurigakan terkait tiga hal tersebut, tolong segera dicegah," kata Supriono di Jakarta, Kamis (28/2).
Supriano berharap kepada para kepala sekolah dan guru untuk memasukkan muatan pendidikan karakter di semua mata pelajaran, baik pelajaran Matematika, IPA, IPS, PKn, dan lain-lain. Pendidikan karakter bukanlah kurikulum, tetapi merupakan konten kurikulum yang masuk pada semua mata pelajaran.
"Kalau ini dilakukan, Insya Allah dengan Asistensi Pendidikan Pancasila dan Bela Negara anak-anak akan memiliki bekal yang kuat, akademis bagus, dan karakter yang bagus, dan inilah anak-anak yang akan mampu bersaing di abad 21," tutur Supriano.
Dalam rangka mendorong penguatan karakter positif siswa sebagai upaya melaksanakan program Nawacita Presiden RI, Joko Widodo, dan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, yaitu Revolusi Mental, Kemendikbud bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyelenggarakan kegiatan Asistensi Pendidikan Pancasila dan Bela Negara.
Tangkal Radikalisme
Sementara itu, Menristekdikti, Mohamad Nasir, mengatakan menciptakan mahasiswa berkarakter unggul merupakan salah satu upaya yang digagas Kemristekdikti dalam penangkalan radikalisme di kalangan mahasiswa. Kemristekdikti bersama LIPI, perguruan tinggi, dan peneliti-peneliti ilmu sosial hingga saat ini tengah melakukan survei radikalisme dan wawasan kebangsaan pada pelajar dan mahasiswa.
"Surveinya belum selesai, namun hingga Mei 2017, pernyataan untuk siap berjihad demi tegaknya khilafah pada kelompok mahasiswa mencapai 23,4 persen dan pada pelajar 23 persen," tutur Nasir.
Angka tersebut merupakan sinyal yang harus disikapi semua pihak, baik pemerintah, perguruan tinggi, sekolah, orang tua maupun masyarakat umum mengenai pentingnya menumbuhkan kembali rasa nasionalismedan cinta Tanah Air karena masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945, dan Pancasila sudah final.
Lunturnya pemahaman kebangsaan, lemahnya kemampuan berpikir kritis sivitas akademika, serta muatan kurikulum yang tidak mampu mencukupi kebutuhanmahasiswa untuk menangkal radikalisme dan penyalahgunaan teknologi informasi, menjadi sebab mengapa munculnya radikalisme di lingkungan kampus.
"Hal yang harus dilakukan demi menciptakan mahasiswa berkarakter unggul adalah penguatan tri dharma perguruan tinggi, bagaimana manajemen mengelola mahasiswa dan perguruan tinggi, ini harus kita lakukan bersama-sama," ucap Nasir. cit/E-3