Selain dampak normalisasi kebijakan, sejumlah risiko masih membayangi pemulihan ekonomi di negara berkembang, seperti penyebaran Covid-19 varian Omicron, disrupsi rantai pasokan hingga energi.

JAKARTA - Proses normalisasi kebijakan moneter yang akan dilakukan sejumlah negara maju, terutama Amerika Serikat (AS) dan Eropa dikhawatirkan bisa menjadi risiko pemulihan bagi negara berkembang. Karena itu, langkah normalisasi kebijakan yang dilakukan oleh negara maju harus melalui komunikasi, perencanaan dan kalibrasi yang baik agar tidak menimbulkan risiko terhadap pemulihan negara berkembang.

"(Risiko) yang paling utama dari makroekonomi dan kebijakan moneter adalah proses normalisasi," kata Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dalam Agenda Presidensi G20 Indonesia di Jakarta, Sabtu (19/2).

Perry menuturkan beberapa negara maju telah pulih dan akan segera mulai menormalkan kebijakan mereka. Namun, masih banyak negara berkembang termasuk Indonesia yang baru mulai memupuk pemulihan ekonomi.

Hal itu menyebabkan terjadinya pemulihan ekonomi global dan kebijakan moneter yang tidak sinkron sehingga akan menimbulkan banyak masalah baru terutama bagi negara berkembang. Padahal, risiko selain normalisasi kebijakan juga masih membayangi pemulihan seperti adanya Covid-19 varian Omicron, disrupsi rantai pasokan hingga terkait energi.

Karena itu, Perry menegaskan proses normalisasi kebijakan perlu disatukan dan dikoordinasikan agar pemulihan terjadi secara seimbang, baik antara negara maju maupun negara berkembang. Perry mencontohkan rencana normalisasi kebijakan yang perlu dikalibrasi, direncanakan dan dikomunikasikan dengan baik adalah kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang diprediksi oleh Bank Indonesia sebanyak empat kali.

Rencana normalisasi kebijakan moneter tersebut perlu dikalibrasi, direncanakan, dan dikomunikasikan dengan baik agar pasar dapat menyiapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi risiko bawaannya. Perry menegaskan hal itu penting agar dampak dari rencana normalisasi kebijakan dapat diperhitungkan oleh pasar dan negara berkembang ke dalam pembuatan kebijakan moneter masing-masing negara.

Selain itu, dari sisi negara berkembang, Perry menuturkan perlu memperkuat ketangguhan fiskalnya untuk menahan dampak limpahan global dari rencana normalisasi negara-negara maju. Dia menyebutkan terdapat tiga aktor yang harus saling bersinergi dalam menormalisasi kebijakan yakni negara maju, negara berkembang serta organisasi internasional, khususnya Dana Moneter Internasional (IMF).

Sikap "Hawkish"

Sebelumnya, sejumlah pejabat The Fed menghendaki langkah agresif alias hawkish dari bank sentral di tengah ancaman inflasi tinggi di AS. Belum lama ini, Presiden Cleveland Federal Reserve Bank, Loretta Mester menghendaki The Fed segera menghentikan injeksi likuiditas ke perekonomian alias tapering off dan mempercepat kenaikan bunga acuan.

Senada dengan Mester, Presiden St Louis Federal Reserve Bank, Jim Bullard menyerukan The Fed untuk menaikkan suku dengan persentase poin penuh pada Juli mendatang.

Sementara itu, Morgan Stanley memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga enam kali sepanjang tahun ini dengan total 150 basis poin (bps). Peningkatan itu lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.

"Menyusul perubahan baru-baru ini pada prospek inflasi kami, kami sekarang memperkirakan The Fed akan memberikan total enam kenaikan 25 basis poin tahun ini," tulis Kepala Ekonom Morgan Stanley AS, Ellen Zentner, dalam laporannya.

Baca Juga: