September 2024, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia di angka 49,2 yang menandakan kontraksi selama tiga bulan berturut.

JAKARTA - Pemerintah dinilai masih terus mengelak dengan kondisi perekonomian yang sesungguhnya, terutama penurunan harga (deflasi) yang telah berlangsung selama lima bulan berturut- turut. Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Susiwijono Moegiarso, mengatakan tren deflasi yang sudah berlangsung selama lima bulan berturut-turut tidak berkaitan dengan pelemahan daya beli.

Sebab, deflasi terjadi pada komponen harga bergejolak (volatile food). Sementara pelemahan daya beli seharusnya terefleksi pada komponen inflasi inti (core inflation), yang hingga September 2024 masih mencatatkan inflasi. "Inflasi inti itu yang mengindikasikan daya beli, bukan harga bergejolak atau harga diatur pemerintah (administered price)," kata Susiwijono.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), komponen inti mengalami inflasi 0,16 persen dengan andil 0,10 persen, sedangkan komponen harga diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 0,04 persen dengan andil 0,01 persen terhadap inflasi umum.

Tidak Sesuai Kenyataan

Menanggapi sanggahan pemerintah, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan apa yang disampaikan Sesmenko itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dari data yang ada, papar Huda, dari sisi inflasi inti di angka 0,16, turun dibandingkan dengan bulan lalu.

"Artinya, kemampuan masyarakat membeli barang yang sesuai dengan permintaan dan penawaran, menurun," kata Huda. Kemudian, jika dikaitkan dengan data penunjang lainnya menunjukkan dari sisi kemampuan masyarakat juga turun, terlihat pada tabungan yang turun.

Kemampuan masyarakat menabung melemah, justru sekarang ada fenomena makan tabungan. "Jadi dari sisi permintaan masyarakat menurun, pun di lapangan sudah banyak pasar yang sepi, termasuk Pasar Tanah Abang (Jakarta)," papar Huda. Menariknya, papar Huda, Bank Indonesia (BI) pun menyarankan masyarakat mengonsumsi lebih demi menggerakkan ekonomi. Tetapi kita lihat dulu, kalau uangnya ada, daya belinya ada, ya bisa kita tambah konsumsi. Tetapi, masalahnya uangnya berkurang," katanya.

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan meskipun tren deflasi lebih banyak dipengaruhi oleh komponen harga bergejolak (volatile food), faktor daya beli masyarakat tetap tidak bisa diabaikan. "Deflasi pada harga pangan memang dipicu oleh faktor musiman, seperti panen raya, dan bukan semata-mata tanda pelemahan ekonomi. Namun, kita juga harus melihat keseluruhan konteks ekonomi. Sektor-sektor lain seperti otomotif dan manufaktur sudah menunjukkan penurunan signifikan," kata Aditya.

Aditya mengacu pada data terbaru yang menunjukkan penurunan penjualan mobil sebesar 17,1 persen hingga Agustus 2024 dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Di sisi lain, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat di angka 49,2 pada September 2024, yang menandakan kontraksi selama tiga bulan berturut-turut. Lebih lanjut, Aditya menjelaskan bahwa penurunan pada sektor otomotif dan manufaktur bisa mencerminkan adanya pelemahan permintaan masyarakat terhadap barang-barang non-esensial, yang sejatinya terkait dengan daya beli.

"Penurunan di sektor-sektor tersebut harus diwaspadai karena jelas berkorelasi atau bahkan mencerminkan kondisi daya beli di lapangan," tambahnya. Meski demikian, Aditya juga menekankan pentingnya kebijakan pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi, terutama dalam menghadapi ketidakpastian global.

"Kebijakan insentif fiskal bisa menjadi salah satu solusi untuk menjaga daya beli masyarakat, seperti yang dilakukan pemerintah selama pandemi dengan insentif pajak pada sektor-sektor yang menyerap lapangan kerja tinggi," jelasnya. Pada akhirnya, Aditya berharap tren deflasi ini tidak menjadi tanda awal dari pelemahan daya beli yang lebih luas, tetapi tetap mendesak agar pemerintah dan pelaku ekonomi waspada terhadap tanda-tanda penurunan di sektor lain. "Kita harus terus mendorong kebijakan yang bisa menjaga daya beli masyarakat secara keseluruhan, terutama di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu," tutupnya.

Baca Juga: