Sebaran dan keparahan krisis ekonomi 2023 berisiko lebih lama dan akut dibandingkan dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya, seperti pada 1998 dan 2008.

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memperingatkan lima potensi risiko global karena akan mempengaruhi stabilitas dan pemulihan ekonomi dalam negeri. Bahkan, krisis tersebut dipekirakan lebih buruk ketimbang gejolak ekonomi sebelumnya.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyebutkan kelima risiko tersebut meliputi pelambatan ekonomi global dan resesi di Amerika Serikat (AS). Kedua, inflasi sangat tinggi akibat dipici lonjakan harga energi dan pangan global.

"Ketiga, suku bunga yang tinggi bahkan the Fed Fund Rate bisa mencapai 5 persen dan tetap tinggi selama tahun depan," katanya dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2022 di Jakarta, Rabu (30/11).

Risiko global keempat yang perlu diwaspadai adalah dollar AS sangat kuat sehingga menyebabkan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar mata uang negara lain termasuk Rupiah. Terakhir, penarikan dana oleh para investor global dan mengalihkannya ke aset likuid karena risiko tinggi.

Untuk itu, BI menyiapkan lima bauran kebijakan untuk tahun depan dalam rangka memperkuat ketahanan, pemulihan dan kebangkitan Indonesia di tengah kondisi ekonomi global yang akan melambat serta risiko terjadinya resesi di beberapa negara.

Lima kebijakan ini meliputi kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, kebijakan sistem pembayaran, kebijakan pendalaman pasar keuangan serta kebijakan ekonomi keuangan inklusif dan hijau.

Perry memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 tetap kuat pada kisaran 4,5-5,3 persen. Pertumbuhan itu akan didukung oleh beberapa faktor mulai dari ekspor, konsumsi dan investasi yang meningkat.

Selain itu, pertumbuhan ini juga akan tercapai dengan adanya hilirisasi, pembangunan infrastruktur, penanaman modal asing hingga aktivitas pariwisata.

Tak hanya optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi, Perry juga yakin bahwa inflasi yang masih tinggi saat ini akan kembali turun ke sasaran 3 plus minus 1 persen pada tahun depan.

Dia menjelaskan kebijakan suku bunga melalui langkah frontloaded, pre-emptive dan forward looking secara terukur akan menurunkan ekspektasi inflasi sangat tinggi. "Bahkan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3 plus minus 1 persen lebih awal yaitu pada semester I-2023," ujarnya.

Tingkat Keparahan

Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Managment Budi Hikmat menilai sebaran dan keparahan krisis ekonomi 2023 berisiko lebih lama dan akut dibandingkan dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya, seperti pada 1998 dan 2008.

"Hal ini didorong oleh konflik geopolitik multi polar dan polemik kebijakan moneter pascapandemi yang lebih membutuhkan kerjasama internasional terutama antara negara yang berseteru," ujar Budi saat diskusi di Jakarta, kemarin.

Menurut Budi, pertumbuhan ekonomi telah kehilangan momentum akibat pandemi Covid-19 yang kemudian diperparah perang Russia-Ukraina serta perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok yang meningkatkan risiko utang negara miskin dan potensi krisis pangan di sejumlah kawasan.

"Pengaruh berbagai cost-push factors pasca pandemi yang pelik terutama terkait upah, gangguan rantai pasok, lonjakan biaya energi dan pangan, mempersulit upaya bank sentral mengendalikan inflasi. Kebijakan pengetatan lanjutan berisiko memicu stagflasi global," kata Budi.

Perekonomian Indonesia sendiri diharapkan dapat bertahan di tengah terpaan badai resesi global dengan ditunjang fundamental kuat.

Baca Juga: