Potensi La Nina hingga Juli mendatang diprediksi memicu risiko banjir dan angin puting beliung sehingga dikhawatirkan mengancam ketahanan pangan dan mengganggu roda perekonomian.

JAKARTA - Sejumlah kalangan menegaskan perlunya pengelolaan air yang tepat menghadapi masalah perubahan iklim. Gelaran World Water Forum (WWF) di Bali, pada 18-25 Mei mendatang diharapkan melahirkan poin penting soal air.

Peneliti Lingkungan (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan pengelolaan air menghadapi dua tantangan serius, seperti pengendalian air permukaan untuk mengurangi banjir dan pengelolaan air dalam tanah agar tidak terjadi kekeringan sumur-sumur.

"Aspek pengendalian air permukaan mutlak diperlukan disebabkan debit air secara natural akan meningkat seiring perubahan suhu permukaan yang lebih rendah dan arah arus angin yang membawa bibit awan ke darat," ucapnya, Senin (6/5).

La Nina, terang Hafidz, diprediksi akan berlangsung hingga Juli mendatang dan menambah intensitas air hujan hingga 20 persen. "Maka, peran serta lintas stakeholder diperlukan untuk dua hal, pertama, revitalisasi sungai dan saluran drainase, serta memberikan ruang terbuka hijau yang cukup untuk mengantisipasi luapan air bila ingin direkayasa dengan meninggikan volume pintu air," jelasnya.

Menurutnya, inisiatif di DKI Jakarta yang disebut parkir air cukup bagus, tetapi perlu diiringi dengan proses pembendungan air. Hal itu dimaksudkan agar air tidak terkonsentrasi di titik tertentu kalau ada titik permukaan lebih rendah.

"Artinya, arena parkir air juga harus dibarengi dengan rekayasa ketinggian dan sistem buka tutup pintu air. Kedua, mutlak perlu revitalisasi daerah tangkapan air untuk mengurangi sedimentasi di hulu dan juga terjadinya potensi longsoran," ucap Hafidz

Dia memperingatkan tahun ini patut diwaspadai potensi La Nina hingga Juli mendatang yang memicu risiko banjir dan angin puting beliung. "Efeknya karena daerah selatan mengalami pemanasan lebih intensif otomatis aliran panas gerak dari selatan ke utara, efeknya kelembapan dan curah hujan jauh lebih tinggi, dibarengi angin kencang," urainya.

Dalam menghadapi perubahan iklim, lanjutnya, selain mitigasi klasik juga diperlukan program adaptasi atas berbagai perubahan yang terjadi. Dia mencontohkan kasus ekstrem di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), di mana hujan anomali terjadi karena dilewati awan intensif bersamaan dengan jalur badai sehingga memicu banjir besar.

"Meskipun tak berlangsung lama, kerugian atas kerusakan-kerusakan cukup tinggi mengingat yang terkena dampak kawasan padat penduduk dan ekonomi dengan mobilitas tinggi," jelasnya.

Di Indonesia, cuaca ekstrem juga sempat terjadi di Bandung, Jawa Barat, dengan gelombang anginnya diduga sudah mencapai level tornado.

Mitigasi Konkret

Terkait WWF ini, Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi III DPR RI melakukan pengecekan persiapan keamanan jelang perhelatan 10th World Water Forum di Bali, pada 18-25 Mei mendatang. Pengecekan tersebut untuk memastikan keamanan dan kenyamanan semua peserta selama acara.

DPR RI ditunjuk sebagai tuan rumah dari Parliamentary Meeting on the Occasion of the 10th World Water Forum. Acara yang bertema Air untuk Kemakmuran Bersama ini akan berlangsung di Nusa Dua, Bali. Adapun khusus selama empat hari untuk pertemuan parlemen, mulai dari 19-22 Mei 2024.

Anggota Komisi III DPR RI, Ichsan Soelistio, berharap World Water Forum di Bali tidak hanya menjadi platform untuk diskusi dan pertukaran ide, tetapi juga merupakan panggung untuk mengedukasi dan menginspirasi tindakan konkret dalam menjaga keseimbangan antara lingkungan dan pembangunan.

Baca Juga: