Pemerintah perlu berhati-hati menjaga kebijakannya agar jangan sampai menggerus daya beli masyarakat dan mengganggu iklim bisnis.

JAKARTA - Kesenjangan antara kondisi ekonomi makro dan mikro saat ini dipandang masih sangat lebar. Untuk itu, pemerintah dinilai perlu berhati- hati mengimplementasikan kebijakannya, terutama dalam penguatan konsumsi domestik dan penciptaan iklim bisnis serta investasi yang kondusif. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia saat ini diakui tergolong cukup tinggi meskipun kondisi perekonomian global masih tak menentu.

Sebagai perbandingan, ekonomi nasional pada triwulan I-2017 tumbuh sekitar lima persen, lebih baik dibandingkan periode sama tahun lalu sekitar 4,9 persen. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dianggap cenderung tidak berkualitas. Indikasinya, kesenjangan ekonomi dipandang masih lebar. Ekonom Center of Reform on Economics (Core), M Faisal, mengungkapkan pelebaran kesenjangan di tengah pertumbuhan ekonomi tinggi sudah menjadi fenomena umum di banyak negara.

Namun, dia menilai kesenjangan ekonomi di Indonesia sangat parah. Menurut Faisal, hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi banyak dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi golongan orang kaya, baik di bidang konstruksi maupun produksi. "Makanya, ketika pertumbuhan ekonomi melambat, biasanya itu disebut juga dengan kesenjangan yang menyempit. Karenanya, tidak heran pada 2015 dan 2016 gini ratio kita turun dari 0,41 menjadi 0,40 dan 0,39. Namun, itu baru terjadi bersamaan dengan perlambatan ekonomi," kata dia kepada Koran Jakarta, Minggu (9/7).

Faisal juga melihat ketidaksinambungan antara pertumbuhan ekonomi tinggi dan tergerusnya daya beli masyarakat walaupun inflasi terkendali. Indikasi tersebut terlihat dari penurunan penjualan ritel sejak Lebaran 2016. Padahal, konsumsi domestik selama ini masih berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional atau sekitar 55 persen.

Karena itu, Faisal menilai pemerintah perlu berhati-hati menjaga kebijakannya agar jangan sampai menggerus daya beli masyarakat dan mengintimidasi para pelaku usaha sehingga mereka akan menahan produksi. Menurut dia, salah satu kebijakan yang dinilai kontraproduktif adalah intensifikasi pajak. Kebijakan pengurangan subsidi juga dikhawatirkan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. Pada saat bersamaan, penciptaan lapangan kerja tidak terlalu besar.

Pengetatan Belanja

Selain itu, pemerintah diminta tidak memperketat kebijakan fiskal, terutama belanja meskipun dalam rangka efisiensi. Sebab, pengetatan spending pemerintah secara otomatis akan memperlemah daya dorong perekonomian. Sebelumnya, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Rodrigo Chaves, mengatakan ada dua aksi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan mutu belanja pemerintah.

Pertama, realokasi belanja ke sektor-sektor prioritas dengan tingkat belanja yang masih rendah dan bisa membawa dampak terbesar kepada pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan. Menurut dia, sektor-sektor tersebut termasuk infrastruktur, kesehatan, dan bantuan sosial. "Kedua, memaksimalkan dampak belanja di semua sektor, termasuk pertanian, pendidikan, dan bantuan sosial," kata Chaves.

ahm/bud/E-10

Baca Juga: