Apabila nilai tukar rupiah tidak segera menguat signifikan maka harga komoditas sembako dan sandang akan segera naik.

JAKARTA - Kebijakan pemerintah mengendalikan impor dinilai tidak berpengaruh signifikan terhadap kenaikan harga terutama kebutuhan pokok. Sebab, pemerintah hanya membatasi impor barang konsumsi tersier, seperti kosmetik, parfum, dan barang mewah. Sejumlah kalangan mengingatkan yang perlu diwaspadai justru kenaikan harga pangan akibat pelemahan rupiah.

Pasalnya, impor komoditas pangan Indonesia yang mencapai 12 miliar dollar AS setahun tergolong sangat tinggi. Di sisi lain, nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini sudah terdepresiasi lebih dari sembilan persen. Ekonom Indef, Abra Talattov, mengemukakan yang perlu dikhawatirkan bukan dampak pembatasan impor, akan tetapi kenaikan harga yang dipicu oleh depresiasi rupiah.

Sebab, saat ini komoditas pangan banyak yang dipenuhi dari impor, seperti beras, jagung, kedelai, serta gandum. "Karena dengan pelemahan rupiah, otomatis nilai impor kita juga meningkat. Khawatirnya, transmisinya ke komoditas barang impor," kata dia, di Jakarta, Selasa (11/9). Hal senada dikemukakan oleh pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan Bandung, Acuviarta Kartabi.

Menurut dia, apabila nilai tukar rupiah tidak segera menguat signifikan maka harga komoditas sembako dan sandang akan segera naik. "Paling tidak akan terpotret di akhir September ini. Saat ini, kenaikan harga komoditas sembako dan sandang serta komoditas lainnya yang relatif tinggi kandungan impornya masih pada tahap rasional karena masih ada stok lama," jelas dia.

Akan tetapi, lanjut dia, hal itu akan berbeda ceritanya jika dalam satu hingga dua bulan ke depan kurs rupiah masih juga belum stabil. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Agustus 2018 terjadi deflasi 0,05 persen dibandingkan bulan sebelumnya atau month-to-month (mtm).

Sementara itu, secara tahunan atau year-on-year (yoy) inflasi 3,20 persen. Dengan begitu, secara tahun kalender berjalan atau selama Januari-Agustus 2018, inflasi tercatat sebesar 2,31 persen. Kepala BPS, Suhariyanto, mengingatkan agar pemerintah waspada memantau rantai pasokan bahan pangan.

Pasalnya, kendati Agustus mengalami deflasi, tetapi secara tahunan tetap inflasi. Apalagi, pemerintah menargetkan inflasi tahun ini sebesar 3,5 persen plus minus satu persen. Menurut dia, deflasi Agustus terutama dipengaruhi oleh penurunan harga telur ayam, bawang merah, dan tarif angkutan udara.

Oleh karena itu, sekalipun pemerintah mengklaim stok bahan pangan stabil atau berlebih, tetapi jika distribusinya tidak diperhatikan maka akan menimbulkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga yang bisa mendongkrak inflasi. Suhariyanto menegaskan apabila pemerintah menginginkan inflasi tahun ini di kisaran target 2,5-4,5 persen maka ketiga komoditas pangan tersebut harus benar-benar dikawal.

"Situasi itu bisa memicu kenaikan harga sehingga perlu dimonitor dari waktu ke waktu," ujar dia. Rantai distribusi memang menjadi bagian penting penyebab fluktuasi harga dalam tata niaga pangan di Tanah Air.

BBM dan Listrik

Lebih lanjut, Abra juga menanggapi soal harga bahan bakar minyak (BBM) dan listrik yang diprediksi tidak akan dinaikkan sebagaimana telah disampaikan pemerintah. Padahal, migas berkontribusi terhadap defisit neraca transaksi berjalan karena nilai impornya meningkat akibat depresiasi rupiah dan kenaikan harga minyak di dunia.

"Otomatis, beban yang akan ditanggung oleh pemerintah semakin besar. Subsidi akan membengkak," kata dia. Apalagi, lanjut Abra, kinerja BUMN dalam hal ini PLN sudah defisit 5,3 triliun rupiah pada semester I tahun ini. Makanya, tahun depan pemerintah akan menginjeksi PLN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar 10 triliun rupiah.

Namun, kalau dilihat lebih dalam, injeksi tersebut bisa dikategorikan subsidi. "Jadi, kompromi pemerintah supaya harga tidak naik dikompensasi oleh kenaikan subsidi melalui PMN," papar dia.

ahm/tgh/WP

Baca Juga: