Pemerintah perlu menjaga suplai barang, terutama kelompok administered goods, di pasar agar inflasi tak terlalu tinggi pada akhir tahun.

JAKARTA - Laju inflasi terakselerasi menjelang akhir tahun ini seiring kenaikan harga sejumlah komoditas. Tren peningkatan inflasi diprediksi berlanjut hingga akhir tahun karena dipicu kenaikan konsumsi saat Natal 2021 dan Tahun Baru 2022.

Untuk itu, pemerintah perlu menjaga agar inflasi tak terlalu tinggi karena dikhawatirkan bisa mengganggu pemulihan ekonomi. Kebijakan yang gegabah bisa memicu kenaikan inflasi berlangsung lama.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada November lalu tercatat 0,37 persen secara bulanan, lebih tinggi dibandingkan capaian pada Oktober lalu sebesar 0,12 persen. Dengan demikian, secara tahun kalender (ytd), inflasi tercatat 1,3 persen, sementara secara tahunan tercatat sebesar 1,75 persen. Angka tersebut masih di bawah asumsi pemerintah pada APBN 2021 di rentang 2-4 persen.

"Dari 11 kelompok pengeluaran terdapat tiga kelompok pengeluaran yang paling memiliki andil terhadap inflasi pada November 2021," ungkap Kepala BPS, Margo Yuwono, saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (1/12).

Pertama, kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau yaitu terjadi inflasi sebesar 0,84 persen dengan andil terhadap inflasi keseluruhan sebesar 0,21 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil terhadap inflasi dalam kelompok tersebut adalah minyak goreng dengan andil 0,08 persen, telur ayam ras dan cabai merah 0,06 persen serta daging ayam ras 0,02 persen.

Kelompok pengeluaran kedua adalah transportasi dengan inflasi pada November sebesar 0,51 persen dan andilnya terhadap inflasi keseluruhan sebesar 0,06 persen karena adanya kenaikan tarif angkutan. Kelompok pengeluaran ketiga adalah perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga dengan inflasi sebesar 0,14 persen dan andilnya terhadap inflasi keseluruhan sebesar 0,03 persen.

Direktur Progam Indef, Esther Sri Astuti,mengatakan pemerintah perlu menjaga suplai barang di pasar agar inflasi tak terlalu tinggi. "Pasokannya harus cukup jadi saat ada kenaikan permintaan barang tetap terpenuhi dan harga barang terkendali," ucapnya pada Koran Jakarta, Rabu (1/12).

Selain itu, lanjut Esther, distribusi barang juga harus diperhatikan, terutama barang yang termasuk kelompok administered goods, yang mana jika harga barang itu naik, akan mempengaruhi harga barang lain. "Kelompok administered goods misalnya minyak goreng, beras, dan lain sebagainya," ujarnya.

Dia memastikan inflasi pada Desember ini tentu bakal lebih tinggi lagi karena periode Natal dan Tahun Baru (Nataru). Meskipun tinggi, inflasi mungkin tak setinggi jika ada kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak).

Menurutnya, kenaikan minyak goreng dan telur bersifat sementara. Namun, kalau kenaikan harga barang sebagai akibat kenaikan harga BBM dan listrik, maka peningkatan itu akan permanen.

Masalah Tata Niaga

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR RI, Andi Akmal Pasluddin, menilai kenaikan harga minyak goreng di Tanah Air saat ini tak masuk akal. Sebab, Indonesia merupakan produsen crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit terbesar di dunia.

"Jadi, tidak ada masalah dengan urusan produksi di tengah tingginya kebutuhan minyak goreng di dalam negeri," ujarnya.

Baca Juga: