JAKARTA - Kebijakan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI7days Reverse Repo Rate menjadi 6 persen pada Oktober lalu berkorelasi pada turunnya inflasi inti Oktober 2023. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi inti pada Oktober turun menjadi 0,08 persen dari 0,12 persen pada September 2023.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Pudji Ismartini, mengatakan kenaikan bunga acaun itu memang ditujukan untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah dari ketidakpastian global, sekaligus sebagai langkah pencegahan untuk memitigasi dampak pelemahan rupiah terhadap imported inflation atau inflasi barang impor.

Menurut Pudji, pengaruh pelemahan rupiah terhadap inflasi barang impor dapat terlihat pada komoditas yang mengandung komponen impor, seperti hasil industri pengolahan. Sebagai contoh, mi kering instan dan roti menggunakan bahan baku tepung terigu yang masih diimpor. Begitu pula tahu dan tempe yang berbahan dasar kedelai juga termasuk komoditas yang masih diimpor oleh Indonesia.

Ia juga mengingatkan bahwa inflasi barang impor beberapa bulan ke depan perlu diwaspadai. Namun diharapkan kebijakan kenaikan suku bunga acuan diharapkan dapat menahan sisi permintaan pada komoditas yang mengandung komponen impor signifikan.

Nilai tukar rupiah sendiri, pada Rabu pagi (1/11), melemah sebesar 0,32 persen atau 50 poin ke level 15.935 per dollar Amerika Serikat (AS), dibanding sebelumnya 15.885 per dollar AS. Sedangkan inflasi pada Oktober tercatat sebesar 0,17 persen (month to month/mtm), di mana terjadi peningkatan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 115,44 pada September 2023 menjadi 115,64 pada Oktober 2023.

Dengan perkembangan tersebut, inflasi tahun ke tahun mencapai 2,56 persen (year on year/yoy) dan inflasi tahun kalender 1,80 persen (year to date/ytd).

"Volatile Food"

Sementara itu, ekonom Celios, Nailul Huda, mengatakan memang salah satu tujuan peningkatan suku bunga acuan adalah menahan laju inflasi selain untuk menguatkan nilai tukar rupiah. "Maka kebijakan menaikkan suku bunga acuan kemarin mampu menahan tingkat inflasi secara bulanan," kata Huda.

Tantangan berikutnya bukan lagi dari imported inflation, tapi harga barang volatile food, seperti beras dan komoditas lainnya. Panas berkepanjangan, jelas membuat harga komoditas cenderung naik, terlebih negara-negara eksportir menerapkan restriksi (pembatasan) ekspor, sehingga pasokan pangan global menjadi berkurang.

Sebelumnya, pakar masalah sosial dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan golongan masyarakat rentan (miskin) jelas akan menjadi pihak yang paling merasakan dampak inflasi karena kebergantungan impor dalam berbagai kebutuhan yang masih tinggi.

"Mereka ini rentan karena lebih banyak utangnya, daripada penghasilan yang masuk. Meskipun nanti ada bantuan, tapi tidak akan berdampak banyak, karena utang mereka jauh lebih besar daripada bantuan yang diterima dari pemerintah," katanya.

Baca Juga: