Permasalahan di hilir yang masih berlarut-larut dikhawatirkan membuat harga gabah dan beras petani terus anjlok hingga di bawah harga pembelian pemerintah (HPP).

JAKARTA - Penurunan harga gabah dan petani terjadi sejak Bulog mengurangi pengadaan karena cadangan beras pemerintah (CBP) sudah penuh. Penurunan harga tahun ini terancam terjadi sepanjang tahun.

Berbeda dengan sebelumnya, penurunan hanya terjadi saat musim panen saja. Karena itu, diperlukan perbaikan sehingga harga produksi petani tak terus terpuruk.

Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Bulog, Mokhamad Suyamto, menegaskan kasus penurunan harga gabah hingga di bawah HPP pada 2021 merupakan tertinggi dibanding tahun sebelumnya. "Khusus pada Juli 2021 misalnya, persentase kasus harga gabah ini bahkan mencapai 40,6 persen, jauh dari periode yang sama tahun lalu yang hanya di angka 7,4 persen, lebih tinggi juga dari Juni 2021 yang di angka 25,7 persen," sebutnya dalam dalam diskusi CBP, di Jakarta, Rabu (18/8).

Menurut Suyamto, kasus harga jatuh selain karena meningkatnya produksi dan isu impor juga disebabkan oleh tidak optimalnya pengadaan Bulog. Ini akibat dari berkurangnya outlet penyaluran Bulog sementara stok yang tersedia masih cukup.

Sejak Juni lalu, misalnya, Bulog sudah menghentikan pengadaan karena stok sudah di atas 1-1,5 juta ton sesuai denga aturan pemerintah. "Apabila tak ada perbaikan signifikan maka diperkirakan akan terjadi kasus harga gabah di penggilingan di setiap bulan sepanjang tahun 2021," tegas Suyamto.

Dia melanjutkan, berdasarkan hasil pantauan Badan Pusat Statistik (BPS) di 90 kota, pada Juli 2021 terjadi inflasi sebesar 0,08 persen. Khusus untuk komoditas beras pada Juli 2021 memberi sumbangan deflasi sebesar 0,008 persen.

Beras diperkirakan tetap menyumbang deflasi pada Agustus 2021 mengingat adanya bantuan pangan dari pemerintah kepada warga terdampak pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat serta berlangsungnya panen gadu.

Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Andriko Noto Susanto, berharap masalah di sisi hilir segera diselesaikan karena bakal berdampak luas ke petani sebagai produsen pangan. "Jika tidak terurai di hilir akan dampak ke hulu karena pasar potensial masyarakat atau petani itu ada di Bulog. Jika itu tidak terurai akan berdampak ke produksi," tegas Andriko.

Ketua Dewan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jangkung Handoyo Mulyo, mengingatkan pemerintah tidak main-main. Sebab, pangan sektor strategis. Apabila harga jatuh maka petani sebagai produsen pangan tak mendapat insentif.

"Padahal petani itu harus dapat insentif, ini bakal kian berat seiring dengan terus turunnya serapan Bulog, padahal Bulog ini organ penting untuk menciptakan kesejahteraan," tegas Jangkung.

Serapan Berisiko

Pengamat Pertanian, M Husen Sawit, memperkirakan pengadaan Bulog tahun ini bakal jauh dari target 1,8 juta ton. Diperkirakan hanya sampai 1,3 juta ton. Angka itu, kata dia, sudah sesuai dengan aturan stok CBP.

Dia menegaskan terkoreksinya serapan Bulog tahun ini bukan karena ketidakmampuannya, tetapi karena risikonya bakal lebih besar, baik dari sisi kerusakan maupun anggarannya. "Apabila angka serapan tinggi maka risikonya juga tinggi, bila rendah risikonya juga rendah, sehingga tak heran pengadaan Bulog selalu turun," paparnya.

Baca Juga: