Pembangunan pertanian menghadapi tantangan yang semakin kompleks akibat dampak perubahan iklim ekstrem El Nino, konflik geopolitik, dan dinamika ekonomi global.

JAKARTA -Pemerintah perlu meningkatkan level kewaspadaan seiring terus meningkatnya suhu permukaan bumi. Fenomena ini membuat dunia dibayang bayangi krisis pangan.

Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) memperingatkan potensi terjadinya ancaman krisis pangan pada 2050. Terkait itu, Kementerian Pertanian (Kementan) menyampaikan berbagai langkah antisipatif untuk menghadapi musim kemarau panjang yang diproyeksikan berdampak signifikan terhadap sektor pertanian nasional.

"Kami berkomitmen untuk menjaga keberlanjutan sektor pertanian serta kesejahteraan petani di Indonesia," ujar Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI di Jakarta, Kamis (20/6).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memproyeksikan musim kemarau pada 2024 berlangsung panjang, mulai Juni hingga September, dengan puncaknya pada Agustus mendatang.

"Beberapa inisiatif yang disiapkan Kementan antara lain peningkatan infrastruktur pompa untuk pengairan lahan sawah tadah hujan, rehabilitasi jaringan irigasi tersier, optimalisasi penggunaan lahan rawa, serta peningkatan kapasitas dan manajemen waduk/bendungan," kata Amran.

Teknologi budi daya pertanian hemat air dan gerakan panen air hujan juga diperkenalkan untuk meningkatkan ketahanan pangan terhadap dampak kekeringan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan luas tanam padi selama periode Oktober 2023 - April 2024 sebesar 6,55 juta hektare (ha), turun 3,83 juta ha atau 36 persen dibandingkan rata-rata periode sama selama 2015-2019.

Penurunan luas tanam ini mempengaruhi luas panen padi dan berdampak pada penurunan produksi padi nasional.

Saat ini, pembangunan pertanian menghadapi tantangan yang semakin kompleks akibat dampak perubahan iklim ekstrem El Nino, konflik geopolitik, dan dinamika ekonomi global. Hal itu menyebabkan restriksi ekspor dari beberapa negara produsen pangan, meningkatnya biaya produksi dan harga pangan, serta potensi krisis pangan.

"Kekhawatiran terhadap jaminan produksi, masalah distribusi, dan akses pangan masyarakat perlu menjadi perhatian serius dalam penyediaan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia," kata Amran.

Pengamatan Kebumian

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya pengamatan sistem kebumian yang sistematis menghadapi perubahan iklim.

Menurutnya, suhu permukaan bumi meningkat sangat cepat setiap tahunnya yang berdampak buruk pada kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di Bumi.

Berdasarkan laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), suhu permukaan global telah meningkat dengan cepat, dengan rata-rata tahunan mencapai 1,45 derajat Celcius pada 2023 dibandingkan dengan baseline setelah era Revolusi Industri.

Padahal pada 2020, menurut laporan WMO tentang keadaan iklim global, kenaikan rata-rata suhu global adalah 1,2 derajat celcius. Hal ini berarti hanya dalam beberapa tahun, ada peningkatan suhu permukaan yang signifikan.

"Pada 2023 tercatat sebagai tahun terpanas, dan informasi ini hanya dapat diperoleh melalui pengamatan sistematis untuk fenomena kebumian. Tanpa pengamatan kebumian yang sistematis, informasi yang diberikan bisa menyesatkan atau salah. Pengamatan kebumian yang sistematis ini diperlukan baik di tingkat nasional, regional, maupun global," ungkap Dwikorita.

Baca Juga: