Mifta Romadloni, 21 tahun, gadis asal Mojokerto, Jawa Timur, hanyalah salah satu dari sekian banyak saudara kita yang mengalami gizi buruk. Dia kini sedang dalam perawatan tim medis Rumah Sakit Islam Sakinah, Sooko, Mojokerto.

Beberapa waktu lalu, masalah gizi buruk dan campak di Papua menjadi kejadian luar biasa, sampai-sampai Kementerian Kesehatan menurunkan 39 tenaga kesehatan sebagai respons terhadap kejadian itu. Selain itu, bantuan juga diberikan TNI dengan mengirimkan satgas kesehatan. Pemerintah daerah pun membentuk tim yang segera diturunkan ke lapangan untuk melakukan pencegahan dan pengobatan serta pemberian makanan tambahan (PMT).

Mengutip Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada 2018 sebanyak 7,8 juta atau 30 persen dari 23 juta balita di Indonesia adalah penderita stunting. Meskipun proporsinya telah menurun dari 37 persen pada tahun sebelumnya, namun angka itu dinilai masih tinggi. Betapa tidak, karena Indonesia mempunyai populasi yang besar, sehingga posisinya sama seperti negara Afrika lainnya penderita gizi buruk.

Berdasarkan hitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kekurangan zat gizi mikro di masyarakat bisa menyebabkan kerugian ekonomi sebesar 0,7 hingga 2 persen dari Produk Domestik Bruto.

Apabila mengambil persentase kerugian terbesar yaitu 2 persen dan besar PDB Indonesia senilai 15.000 triliun rupiah, kita bisa kehilangan 300 triliun rupiah akibat kekurangan gizi mikro.Padahal, jika dikonversi ke APBN, dana hilang itu bisa untuk memperkuat anggaran kesehatan, pendidikan, dan SDM.

Untuk itu, bila masalah kesehatan diabaikan, dikhawatirakn perekonomian ke depan menjadi kurang produktif. Padahal, belakangan performa Indonesia tengah membaik. Parameternya pertumbuhan ekonomi 5,17 persen, serta angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan terus menurun. Artinya, upaya menurunkan stunting akan berkontribusi memperbaiki parameter tersebut.

Sayangnya, sekarang masih jauh dari bebas stunting. Jadi, kalau mau memperbaiki, pengurangan stunting harus menjadi bagian integral dan prioritas, selain kebijakan perekonomian lainnya.

Berdasarkan Global Nutrition Report 2018, Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban gizi ganda. Meskipun telah terjadi penurunan prevalensi stunting dari 37,2 persen 2013 menjadi 30,8 persen 2018. Tapi angka tersebut tergolong cukup tinggi.

Demikian juga kekurangan gizi mikro seperti anemia ibu hamil yang mencapai 48,9 persen juga dalam kategori tinggi. Selain itu, memang tidak mengalami kelaparan, tetapi ada hidden hunger.

Kekurangan gizi mikro seperti gangguan akibat minimnya zat besi, iodium, asam folat, zinc, dan vitamin A memiliki keunikan karena tidak bermanifestasi dalam kondisi fisik seperti kurus atau pendek. Namun dia menimbulkan kelaparan tersembunyi (hidden hunger).

Fenomena itu terjadi terutama pada ibu hamil dan anak balita. Ini dapat mempengaruhi pertumbuhan janin, perkembangan kognitif anak, dan daya tahan terhadap infeksi. Apabila tidak dibenahi, akan mengancam kualitas SDM ke depan.

Ada tiga cara menanggulangi persoalan tersebut. Antara lain, dengan suplementasi, berupa pemberian tablet tambah darah, vitamin A, dan suplemen zat gizi mikro lainnya. Berikutnya, mengubah perilaku warga agar mengonsumsi sumber makanan beragam yang kaya kandungan gizi. Di antaranya, upaya fortifikasi pangan atau pengayaan zat gizi mikro terhadap produk pangan. Itu perlu pendekatan yang konprehensif dan tidak mudah, namun tetap harus dilakukan sebaik-baiknya.

Baca Juga: