JAKARTA - Tren peningkatan penerimaan negara diperkirakan berlanjut tahun ini seiring pemulihan ekonomi nasional. Namun, ancaman risiko global masih harus diwaspadai karena bisa mempengaruhi perekonomian nasional yang pada akhirnya berdampak terhadap penerimaan negara, terutama pajak.

Pengamat BUMN Mamit Setiawan mengatakan, tahun lalu menjadi berkah bagi perekonomian nasional di tengah kenaikan harga berbagai macam komoditas, seperti minyak sawit atau crude palm oil (CPO), komodiras tambang, minyak dan gas bumi (migas) nikel serta mineral yang lain. Hal itu dinilainya membuat fundamental APBN cukup kuat.

Belum lagi, lanjutnya, ditambah penerimaan pajak yang melebihi target pada 2021 sebesar 1.229,6 trilliun rupiah dari target 1.227,5 trilliun rupiah serta dari kepabean yang juga melebihi dari yang ditargetkan yaitu sebesar 265 triliun rupiah dari target 215 triliun rupiah.

"Dengan kondisi tersebut, saya kira pertumbuhan ekonomi di 2022 akan kembali naik asalkan tidak ada gelombang 3 yang harus membuat terjadinya pembatasan secara ketat," ujarnya.

Mamit memperkirakan fundamental ekonomi global tumbuh positif pada 2022 sehingga akan tetap menjaga harga komoditas di pasar global, seperti saat ini. Sebab, negara negara lain sudah mulai bergerak perekonomian mereka.

Di dalam negeri, lanjutnya, perekonomian masih dibayangi dengan potensi terjadinya kenaikan tarif dasar listrik (TDL), harga LPG nonsubsidi dan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi yang akan memberikan dampak terhadap daya beli masyarakat.

"Tetapi, saya kira penerimaan negara akan tetap tumbuh sehingga pembiayaan akan utang akan lebih rendah lagi jika dibandingkan 2021 ini," tegasnya.

Kebutuhan Pembiayaan

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu optimistis kebutuhan pembiayaan utang APBN 2022 akan lebih rendah dari target sebesar 973,6 triliun rupiah. Hal itu didasarkan pada penerimaan APBN 2021 yang sangat kuat sehingga trennya berlanjut pada 2022 dan bahkan diperkirakan akan lebih kuat.

Febrio menjelaskan penyebab penurunan kebutuhan pembiayaan utang pada 2022 adalah pengelolaan utang yang sangat hati-hati di Kemenkeu oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR). Selain itu, terdapat kebijakan burden sharing dengan Bank Indonesia (BI) melalui surat keputusan bersama (SKB) II dan III yang berdampak pada biaya bunga yang dibayar pemerintah.

"Jadi kelihatan sekali koordinasi antara fiskal dengan moneter selama beberapa tahun ini, dan ini tentunya merupakan kebiasaan yang sangat baik kita bisa melihat kondisi ekonomi yang sama. Nah ini juga akan berdampak di 2022," kata Febrio.

Baca Juga: