JAKARTA - Pemerintah terus berupaya menutup celah perdagangan illegal. Soalnya, sebagian pihak memanfaatkan kemajuan teknologi untuk melancarkan bisnis illegalnya. Nilainya bahkan mencapai milliaran dollar AS. Persoalan ini juga berlaku di lalu lintas perdagangan tumbuhan dan hewan atau satwa liar.

Untuk membendung itu, Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian (Barantan Kementan) menggandeng Direktorat Jendral Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untun bersama sama menjaga kelangsungan sumber daya alam hayati tanah air agar tetap sehat, aman dan berkelanjutan, menandatangani kesepatan kerja sama dalam penegakan hukum dibidang tumbuhan dan hewan atau satwa liar (TSL).

"Hutan adalah banknya pertanian. Di sana ada sumber daya hayati hewani dan nabati. Kekayaan alam yang luar biasa menjadi kewajiban kita untuk menjaganya," kata Kepala Barantan, Bambang di Jakarta, Kamis (16/12).

Menurut Bambang, kerja sama ini menjadi komitmen bersama dalam menjaga ekosistem dan keberagaman sumber daya hayati nabati juga hewani.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani mengatakan, kerja sama ini penting dalam menjaga kekayaan bangsa Indonesia dan ekosistem dari ancaman perburuan dan perdagangan ilegal.

"Nilai perdagangan ilegal ini mencapai miliaran dolar AS, belum lagi yang legal. Banyak tumbuhan dan satwa eksotis yang tidak dimiliki oleh negara lain yang perlu kita lestarikan," tuturnya saat meneken kerja sama itu di Jakarta, Rabu (15/12).

Pria yang akrab disapa Roy ini, menjelaskan berkembangnya teknologi menyebabkan perdagangan tumbuhan dan satwa semakin meningkat, tidak hanya di pasar tradisional melainkan juga daring."

Harapannya ke depan bisa dilakukan pendekatan multidoor. Di mana kasus pelanggaran dapat dikenakan berbagai undang-undang yang terkait. Hal ini juga untuk meningkatkan efek jeranya," terangnya.

Selain itu, kerja sama ini juga diharapkan dalam mewujudkan efektivitas dalam pelaksanaan penegakan hukum di bidang tumbuhan dan satwa liar. Di mana keberadaannya harus tetap lestari di tengah masih adanya penjualan secara ilegal tumbuhan dan satwa liar.

Habitat Terjaga

Sebagai informasi, perihal pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 yang mana ada pembatasan kuota untuk lalu lintas serta ketertelusurannya jelas, termasuk untuk budi daya.

Sementara itu, untuk Karantina Pertanian didasarkan pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, selain untuk mencegah masuk dan tersebarnya Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) dan Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK), juga memiliki ruang lingkup dalam pengawasan keamanan hayati.

"Oleh karena itu, kerja sama ini sangat penting untuk menjaga kelestarian hayati Indonesia. Populasi tumbuhan dan satwa liar tetap terjaga di habitatnya," ujar Bambang.

Karantina melakukan pengawasan di tempat pemasukan dan pengeluaran media pembawa HPHK dan OPTK (Permentan No. 20 tahun 2019). Jumlahnya sebagai berikut, tempat pemasukan bandara internasional 33 lokasi; pelabuhan laut, sungai, dan penyeberangan 110 lokasi; pos pemeriksaan lintas batas 14 lokasi; kantor pos 37 lokasi; dry port 2 lokasi. Sedangkan tempat pengeluaran di antaranya di 49 bandara internasional, 168 pelabuhan laut, sungai, dan penyeberangan; 14 pos pemeriksaan lintas batas, 37 kantor pos, penyakit hewan, dan dua dry port."

Adapun lingkup kerja sama ini meliputi pertukaran dan pemanfaatan data dan/atau informasi; pencegahan, pengamanan dan penindakan di bidang tumbuhan dan satwa liar; pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan di bidang tumbuhan dan satwa liar; dukungan sarana prasarana dan/atau ahli; dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

"Adapun pelaksanaannya bisa melalui sosialisasi, kampanye bersama, pendidikan dan pelatihan, serta pengawasan dan penindakan bersama,"ucap Bambang.

Bambang berharap, sinergi dan koordinasi akan semakin produktif dalam rangka penyelesaian perkara-perkara pelanggaran pidana. Baik Undang-Undang No. 21 Tahun 2019 maupun Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Baca Juga: