JAKARTA - Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin, dalam sambutannya pada Rapat Kerja Nasional Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU), di Jakarta, Jumat (2/9), menyoroti potensi besar kelautan dan perikanan nasional, namun belum diimbangi dengan kesejahteraan nelayan.

Menurut Wapres, penghasilan nelayan nasional masih fluktuatif dan tidak pasti di tengah besarnya potensi luas perairan Indonesia yang mencapai 6,4 juta km persegi dan garis pantai sepanjang 108 ribu km dengan total estimasi potensi sumber daya ikan sebanyak 12,01 juta ton per tahun. Dari angka tersebut, jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan mencapai 8,6 juta ton per tahun.

"Potensi kelautan dan perikanan yang besar sangat disayangkan masih belum diimbangi dengan kesejahteraan nelayan. Penghasilan nelayan cenderung fluktuatif, tidak pasti, dengan pola kerja yang berisiko tinggi," kata Ma'ruf Amin dalam sambutan yang disaksikan secara daring di Jakarta.

Nilai Tukar Nelayan (NTN) sebagai standar kesejahteraan nelayan, mengalami fluktuasi sepanjang periode Januari 2019 hingga Maret 2022. Ia menyampaikan NTN nelayan mengalami kenaikan, namun sangat kecil dari 98,49 pada April 2020 menjadi 106,65 pada Maret 2022.

Menurutnya, salah satu kesulitan utama yang dihadapi nelayan adalah mengakses BBM subsidi, padahal sekitar 60 persen biaya kebutuhan melaut nelayan adalah untuk membeli BBM.

Selain itu, kata Ma'ruf, nelayan mengalami kesulitan mengakses administrasi masalah nelayan, mengakses pasar, pembiayaan, dan terkendala perubahan iklim.

Nelayan Perlu Pelatihan

Sementara itu, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, membenarkan pernyataan Wapres seputar nasib dan kehidupan nelayan tersebut. "Faktanya memang banyak nelayan kita yang masih miskin," kata Esther Sri Astuti kepada Koran Jakarta, Jumat (2/9).

Menurut Esther, seharusnya nelayan diberi pelatihan bagaimana memperlakukan ikan hasil tangkapannya agar tetap segar, karena harga ikan fresh lebih mahal daripada ikan yang mati berkali-kali. "Kalau nelayan asing, mereka menangkap ikan, dan ikannya langsung masuk bunker yang kondisinya dingin, suhunya bahkan minus 10-20 derajat Celsius, sehingga tetap terjaga kesegarannya dan bisa diekspor. Harganya pun lebih mahal," ucapnya.

Pendapat senada juga disampaikan Pengamat Sosial dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, Umar Sholahudin. Menurut Umar, meskipun memiliki potensi kuat, sektor kelautan dan perikanan selama ini masih dianggap anak tiri dalam pembangunan ekonomi nasional. Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah dibentuk pun belum mampu mengatasi masalah klasik terkait kemiskinan masyarakat nelayan tersebut.

Negara sepertinya kurang hadir dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan untuk mensejahterakan nelayan. Kehidupan mereka seperti tidak menentu, tak hanya sumber penghasilan yang tidak tetap, tetapi juga kurangnya kebijakan pemerintahan terhadap para nelayan.

Baca Juga: