Muktamar Internasional Fikih Peradaban yang digelar PBNU di Surabaya dibuka oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Ilmu Fikih harus mampu merespons perkembangan zaman, kata Wapres.
SURABAYA - Wakil Presiden (Wapres) RI Ma'ruf Amin membuka Muktamar Internasional Fikih Peradaban yang digelar oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Kota Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2).
"Ilmu fikih harus mampu merespons dinamika masyarakat dan perkembangan zaman," kata Wapres Ma'ruf Amin saat membuka muktamar.
Muktamar tersebut mengangkat tajuk "Membangun Landasan Fiqih untuk Perdamaian dan Harmoni Global".
Menurut Wapres, keniscayaan akan fatwa baru penting lantaran sumber hukum utama yaitu Al Quran dan Hadits sangat terbatas, sementara permasalahan baru dan terbarukan datang silih berganti.
"Orang yang berpikir bahwa hukum tidak bisa berubah maka bisa dipastikan orang itu tidak memahami Islam itu sendiri," ujarnya.
NU, lanjut dia, sebetulnya sudah lama mengadopsi fleksibilitas dan pemikiran Islam, salah satunya dilakukan pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Lampung tahun 1992.
"NU telah memiliki metodologi induksi untuk menghadapi isu-isu kontemporer dalam wacana maupun metodologi. Dengan begitu, NU dalam menyaksikan realitas tidak semena-mena mengutip melainkan melalui ijtima ulama melalui ushul fiqih," kata dia.
Wapres menandaskan, pertemuan di Lampung tahun 1992 juga mendefinisikan karakteristik NU yang moderat dan berbasis metodologi.
"Oleh karena itu NU bisa mengemukakan metodologi global dan terkini," ujar dia.
Muktamar Internasional Fiqih Peradaban digelar dalam rangkaian puncak peringatan satu abad NU yang digelar di Sidoarjo pada Selasa (7/2) besok.
Forum ini menghadirkan 15 pakar dari dalam negeri maupun mancanegara sebagai pembicara kunci.
Kelima belas pemaparan para mufti dan ahli hukum Islam tersebut mengulas berbagai persoalan kontemporer dari sudut pandang Islam, mulai dari format negara-bangsa, relasi dengan non-muslim, tata politik global, serta membahas posisi Piagam PBB di mata syariat Islam.