JAKARTA - Kasus kanker payudara terus meningkat di Indonesia. Menurut TheGlobalCancer Observatory (Globocan) pada 2020 angka kejadiannya sebanyak 65.858 kasus baru, dengan kasus meninggal 22.430 orang.

Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI), dr Aru Sudoyo mengatakan, meski kasus kanker meningkat ternyata kepedulian terhadap kanker meningkat, sehingga penemuan kanker khususnya kanker payudara pada stadium dini bisa lebih banyak.

"Kami sangat senang dengan adanya peningkatan kepedulian masyarakat untuk mengetahui ragam terapi kanker payudara, namun penting bagi masyarakat untuk melakukan deteksi dini kanker payudara, sebab 70 persen pasien ditemukan pada stadium lanjut," ujar dia dalam webinaryang diadakan oleh YKI Senin (12/7).

Sementata itu dokter spesialis bedah onkologi (kanker) Dr. dr. Sonar Panigoro, SpB-Onk mengingatkan bahwa faktor risiko terpapar kanker payudara adalah wanita diatas usia 40 tahun, terdapat riwayat keluarga atau riwayat kanker sebelumnya, adanya faktor genetik berupa mutasi gen BRCA 1 / BRCA 2.

"Riwayat menstruasi dini sebelum usia 12 tahun dan menopause lambat setelah usia 55 tahun, riwayat reproduksi yaitu tidak memiliki anak dan tidak menyusui, faktor hormonal, konsumsi alkohol, riwayat radiasi dinding dada, serta faktor lingkungan juga turut meningkatkan risiko," ujar dia.

Adapun gejala kanker payudara yang perlu dicermati adalah keluar cairan atau darah dari puting, pembengkakan seluruh/sebagian payudara, nyeri pada payudara, iritasi atau kerutan seperti kulit jeruk pada kulit payudara, teraba benjolan di payudara, teraba benjolan atau bengkak pada ketiak."Tapi lebih baik tidak menunggu ada gejala agar dapat ditemukan stadium yang dini," jelas Sonar Panigoro.

Ia memaparkan, penanganan kanker payudara melalui beberapa cara, bergantung pada jenis kanker payudara yang dialami dan stadiumnya. Pasien kanker payudara biasanya menjalani lebih dari satu jenis penanganan, mulai dari biopsi dimana jaringan kanker diambil untuk dipastikan kanker atau bukan.

"Tindakan selanjutnya adalah Mastektomi yaitu pengangkatan seluruh jaringan payudara, atau tindakan Breast Conserving Surgery (BCS) yang merupakan operasi pengangkatan kanker pada sebagian payudara dengan teknik eksisi luas atau lumpektomi" ujar Dr. Sonar Panigoro.

Untuk mencegah penyebaran yaitu pada kelenjar getah bening yang terdampak dapat dilakukan Sentinal Lymph Node Biopsy (SLNB) untuk menemukan dan mengangkat KGB pertama dimana tumor mungkin menyebar atau dengan Axillary lumph node dissection (ALND) yaitu pengangkatan kelenjar getah bening sekitar 20 buah, di daerah ketiak atau aksila, dan dilakukan bersamaan dengan BCS atau mastektomi.

Sonar lebih lanjut menjelaskan bahwa untuk memperbaiki kecacatan yang timbul akibat operasi payudara, dapat dilakukan bedah rekonstruksi ,diantaranya dengan menggunakan implan atau menggunakan jaringan tubuh lain (flap procedure). Selain untuk membentuk payudara kembali dapat juga dilakukan rekonstruksi puting dan areola. Juga ada teknik rekonstruksi untuk limfedema.

"Setelah operasi dapat diberikan terapi ajuvan bila ada indikasi yaitu kemoterapi, terapi hormonal dan atau terapi radiasi untuk mencegah kekambuhan. Ada terapi Neoadjuvant yaitu terapi sistemik untuk mengecilkan tumor sebelum dilakukan bedah," ungkap Dr. Sonar Panigoro.

Meski terdapat ragam terapi kanker payudara, Aru mengingatkan tentang pentingnya pencegahan kanker daripada pengobatan dengan. Caranya dengan deteksi dini kanker, melakukan olahraga secara rutin, menjaga berat badan ideal dengan makan secara tidak berlebihan guna mencegah obesitas dan timbunan lemak yang dapat memicu kanker.

"Selain itu Aru, tidak merokok, makan makanan sehat yang terdiri dari sayur, buah-buahan, tidak makan makanan yang mengandung karsinogen seperti pengawet, zat pewarna, daging yang diproses dapat menurunkan risiko penyakit kanker," ujar dia.

Baca Juga: