JAKARTA - Partisipasi masyarakat yang menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2024 diharapkan dapat meningkat dibandingkan Pemilu 2019. Saat itu, pada Pemilu 2019, persentase masyarakat pemegang hak pilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 81,93 persen.

"Yang diharapkan itu justru melebihi partisipasi di tahun 2019," kata Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin, usai menghadiri acara Habibie Democracy Forum di Jakarta, Rabu (15/11).

Seperti dikutip dari Antara, Wapres mengatakan besarnya partisipasi pemilih pada pesta demokrasi lima tahunan Indonesia itu dapat mengindikasikan pula tingginya kesadaran masyarakat dalam pemilu.

"Kami harap ada peningkatan dalam arti positif, kesadaran untuk ikut partisipasi supaya hasil pemilu lebih legitimate, juga diikuti oleh jumlah yang besar. Kalau bisa memang lebih dari Pemilu 2019," ujar Ma'ruf Amin.

Wapres mengatakan jumlah pemilih berpengaruh terhadap pengakuan hasil pemilu. Persentase pemilih yang menurun dapat menunjukkan adanya ketidakpercayaan publik. Wapres pun berharap pelaksanaan Pemilu 2024 berjalan jujur, adil, bebas, dan rahasia.

Pemilih Muda

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mencatat terdapat 204.807.222 pemilih yang berhak memberikan suaranya pada Pemilu 2024. Dari total seluruh pemegang hak suara, pemilih muda yang terdiri atas generasi milenial dan generasi Z, menjadi kelompok pemilih mendominasi di Pemilu 2024.

KPU mencatat terdapat 113 juta lebih Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari kelompok generasi milenial dan generasi Z. Angka tersebut setara 56,45 persen dari total DPT.

Angka pemilih yang ditetapkan KPU itu telah melalui proses rekapitulasi hasil penetapan DPT di seluruh kabupaten dan kota serta Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) periode 20-21 Juni 2023.

Sebelumnya, peneliti utama Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Radius Setiyawan, mengungkapkan sebanyak 33 persen pemilih muda di Jawa Timur menolak adanya politik dinasti.

"Hasilnya adalah para pemilih muda Jatim 26 persen percaya (pada politik dinasti), 33 persen tidak percaya atau menolak, dan 41 persen tidak peduli. Survei ini dilakukan 14-22 Oktober terhadap 1.075 responden yang tersebar secara proporsional di 38 kabupaten atau kota di Jatim," kata Radius.

Selain politik uang, kata Radius, politik dinasti dalam konteks demokrasi menarik untuk menjadi pembahasan.

Politik dinasti, sambung dia, dipahami sebagai proses reorganisasi kekuasaan melalui perubahan model politik baru dengan pelembagaan kekuatan pemilik modal, yang memperlihatkan oligarki kekuasaan dan berpengaruh dalam struktur sosial dan negara dalam demokrasi Indonesia.

Baca Juga: