Kantor HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak negara-negara untuk berupaya maksimal dalam mencegah aliran dana dan senjata ke militer Myanmar yang dilaporkan memerintah dengan menindas dan meneror rakyatnya.

Dalam laporan yang dirilis Jumat (16/9), PBB bahkan agar militer Myanmar diisolasi lebih lanjut karena telah gagal memerintah negara dengan cara yang berarti dan berkelanjutan.

Salah satunya dengan memberlakukan larangan penjualan senjata dan sanksi yang ditargetkan untuk mencegah jaringan bisnis militer mendapatkan akses ke mata uang asing.

"Masyarakat internasional harus mengambil semua langkah dalam kekuatannya untuk mendukung rakyat Myanmar dan untuk menjawab seruan bagi isolasi keuangan militer," bunyi pernyataan Kantor HAM PBB.

Myanmar sendiri telah berada dalam kekacauan sejak kudeta awal tahun lalu, di mana militer memerangi gerakan perlawanan pro-demokrasi dan menangkap ribuan lawannya, sambil berjuang untuk mengelola ekonomi yang terpukul akibat pergolakan domestik dan global.

PBB juga menuduh junta melakukan pembunuhan massal dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sebaliknya, junta justru membenarkan tindakannya sebagai upaya memerangi "teroris" yang disebut mereka membahayakan negara.

Mengutip Antara, Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan Uni Eropa telah memberlakukan sanksi luas terhadap Myanmar tetapi perdagangan terus berlanjut dengan tetangganya dan beberapa negara terus memasok perangkat keras pertahanan ke junta.

Pada sisi lain, Rusia telah menjadi sekutu diplomatik terdekat dengan menerima kepala junta sebagai tamunya sejak kudeta.

PBB melaporkan Rusia telah memasok jet tempur dan kendaraan lapis baja ke Myanmar, sementara Tiongkok telah mentransfer pesawat tempur dan transportasi, Serbia telah menyediakan roket dan peluru artileri, dan India menyediakan sebuah stasiun pertahanan udara terpencil.

Dalam pernyataan terpisah, pakar independen PBB tentang Myanmar Mary Lawlor dan Tom Andrews meminta dukungan bagi pembela hak asasi manusia Myanmar yang mendokumentasikan kekejaman militer, mendesak diakhiri apa yang mereka sebut sebagai "ketidakpedulian internasional yang nyata".

Baca Juga: