Brain fog atau kabut otak yang merupakan suatu kondisi yang mengganggu keterampilan berpikir masif dilaporkan dialami pasien pasca infeksi Covid-19.

Selama bertahun-tahun, disfungsi kognitif seperti brain fog umumnya telah lama ditemukan pada mereka yang mengalami penyakit kronis tertentu, seperti gegar otak atau pasien kanker pasca kemoterapi. Tapi sekarang, gelombang pandemi Covid-19 telah membuat orang yang terinfeksi mengalami hal yang sama.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Aging Neuroscience, menunjukkan mayoritas orang yang mengalami gejala Covid-19 telah melaporkan mengalami brain fog dengan sekumpulan gejala, termasuk gangguan perhatian, konsentrasi, memori, dan kecepatan pemrosesan.

Tamara Fong, Ahli Saraf yang pernah bekerja untuk Program Kelangsungan Hidup COVID di Beth Israel Deaconess Medical Center, menemukan banyak pasiennya yang kini sulit berkonsentrasi dan cenderung pelupa.

Dalam ulasannya yang bertajuk Brain fog: Memory and attention after COVID-19, Fong menuturkan sekitar 22 persen hingga 32 persen pasien yang pulih dari Covid-19, memiliki brain fog sebagai bagian dari pengalaman mereka terpapar longcovid, atau apa yang ahli kesehatan sebut sebagai post-acute sequelae of SARS CoV-2 infection (PASC).

Dalam studi The neurobiology of long COVID, Iwasaki dan Michelle Monje, profesor neurologi di Universitas Stanford, menguraikan enam penyebab potensial disfungsi kognitif terkait Covid-19. Keduanya menyimpulkan bahwa kemungkinan penyebab umum adalah peradangan paru-paru yang menyebabkan peradangan di otak dan pada akhirnya memicu disfungsi sel-sel saraf.

Dalam banyak kasus, brain fog bersifat sementara dan akan membaik dengan sendirinya. Namun, sampai saat ini belum diketahui pasti berapa lama orang akan mengalami brain fog usai sembuh dari infeksi Covid-19. Satu hal yang pasti adalah bahwa brain fog dapat memengaruhi berbagai aspek kognitif seseorang.

Adapun kognisi mengacu pada proses di otak yang kita gunakan untuk berpikir, membaca, belajar, mengingat, bernalar, dan memperhatikan. Dengan kata lain, gangguan kognitif adalah menurunnya kemampuan untuk melakukan satu atau lebih keterampilan berpikir.

Fong menuturkan, banyak orang yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19 melaporkan berbagai masalah kognitif. Termasuk kesulitan untuk memusatkan perhatian atau sulit atau secara aktif untuk memproses, informasi yang terjadi di sekitar.

Mereka juga kesulitan untuk menyimpan, dan mengingat informasi. Hal ini akan membuat mereka kesulitan belajar, merencanakan sesuatu hingga sulit mengambil keputusan. Pada kasus ekstrem, sejumlah pasien bahkan tidak dapat memikirkan kata tertentu yang ingin mereka sampaikan.

Pasien yang mengalami brain fog mengatakan kondisi itu dapat mengubah dan bahkan menghancurkan hidup. Brain fog disebut telah menjauhkan mereka dari banyak aktivitas seperti mengemudi, bersepeda, dan berbicara di depan umum.

Berbicara kepada The Washington Post, Dave Nothstein (52) seorang warga Colorado Spring yang mengalami long Covid mengatakan otaknya sangat berkabut sehingga dia harus membuat daftar tugas yang harus dilakukan secara mendetail untuk menjalani hari-harinya.

"Sekonyol kedengarannya, itu termasuk 'pastikan sarapan,' 'pastikan memberi makan anjing,' 'terima surat,' 'cuci pakaian,' 'cuci piring,'" katanya.

Pasien Covid lainnya, Edwin Hall (65) yang merupakan seorang veteran Angkatan Laut AS juga bergulat dengan brain fog. Dalam sebuah kejadian ketika tengah berbelanja di Walmart bersama istrinya, Hall sempat mengalami serangan panik usai berpisah dengan istrinya. Ia panik karena tidak bisa mengingat apakah ia memberi tahu istrinya mengenai kemana ia pergi dan tidak tahu bagaimana cara menemui sang istri.

Sebelumnya, Hall menghabiskan 12 hari selama musim panas 2021 dalam keadaan koma yang diinduksi secara medis karena infeksi Covid-19.

Baca Juga: