Komunitas Rumah Tanpa Jendela memfokuskan kegiatannya untuk mencegah anakanak supaya mereka tidak ditangani pihak berwajib dan kembali ke keluarga.

Bercerita dipercaya mampu mengobati perasaan yang tengah dilanda masalah. Namun tidak mudah menemukan media maupun partner untuk bercerita. Komunitas Rumah Tanpa Jendela (RTJ) menyediakan wadah bercerita melalui karya. Pada pemilihan presiden beberapa waktu lalu, RTJ mencermati terjadinya perbedaan yang cukup menganga di dalam masayarakat. Perbedaan tersebut mengerucut pada pembelaan satu paslon (pasangan calon) dengan paslon lainnya.

Alih-alih membela jagoannya, masyarakat bisa meradang jika paslon idolanya mendapatkan cercaan. Abdulrahman Saleh, pendiri RTJ tergerak untuk mengajak masyarakat, khususnya Depok, menghadapi Pilpres secara damai. Ia pun bersama dengan pengemudi ojek di dekat tempat tinggalnya membuat mural yang menggaungkan ajakan Pilpres Damai.

"Ini kampanye sudah hitam dan putih, yang satu merasa benar dan yang satu merasa salah. Jadi gimana caranya harus ada yang teriakan bahwa kita membutuhkan Depok Damai," ujar dia yang ditemui di tempat tinggalnya di Jl Yahya Nuih, Depok, Jawa Barat, belum lama ini.

Dalam bentuk karya juga, dia ingin mengajak anakanak muda di sekitar tempat tinggalnya untuk membuat karya sebagai ungkapan hatinya. Pasalnya, banyak anak-anak muda disekitar yang berurusan dengan aparat.

"Di sini, banyak anak-anak yang masuk penjara karena narkoba, tawuran, maupun asusila," ujar dia. Ia bermaksud membantu anak-anak di sekitar tempat tinggalnya untuk mencegah anak-anak tersebut masuk ke penjara. Karena beberapa kasus, anak yang masuk penjara dapat masuk kembali ke jeruji besi tersebut.

Untuk itu, saat ini dia tengah menjajaki dengan pengurus kampung setempat dan kerja sama dengan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia untuk memberikan pendampingan pada sejumlah kasus, kecuali kasus narkoba.

Saat ini, RTJ lebih memfokuskan kegiatannya untuk mencegah anak-anak supaya mereka tidak ditangani pihak berwajib dan kembali ke keluarga. Program yang dilakukan dapat berupa mural, membuat komik maupun berkolaborasi dengan kegiatan-kegiatan yang terdapat di kampung.

RTJ berdiri pada 2006, saat itu Abdulrahman yang biasa disapa Rahman mengatakan komunitas berdiri saat dirinya menjadi fasilitator di Lapas Tangerang sebagai mitra Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Dia mengidantifikasi anak-anak yang terkena HIV sekaligus sosialisasi. Dia menggunakan komik untuk penggalian cerita dari anak-anak.

Pada 2007, dia mulai menampung anak-anak Lapas yang sudah selesai masa penahanannya. Sampai pernah, dirinya ditegur pengurus kampung tempat tinggalnya, karena dianggap menampung anak-anak yang dapat meresahkan masyarakat. Lalu pada 2012, setelah menikah, dia sudah tidak menampung anak-anak lagi untuk menjaga kenyaman keluarganya. Saat ini, kegiatannya berganti dengan pelibatan masyarakat untuk membuat aktifitas sosial. din/E-6

Mengungkap Isi Hati melalui Seni

"Aku di dalam lapas sudah nggak kuat, nich? Karena setiap malam pandangi tembok dan teralis terus". Kalimat tersebut tercurah dalam komik karya anak-anak lembaga pemasyarakatan (Lapas).

Tanpa disadari, seni mampu menjadi ruang untuk melepaskan perasaan yang menghimpit. Perasaan jenuh menjadi tahanan yang terkadang sulit diungkapkan ketika bertemu dengan orang tua maupun teman. Namun melalui seni, semuanya menjadi cair.

"Perubahan perilakunya banyak, (anak) menjadi tenang," ujar Rahman tentang manfaat membuat komik untuk anak-anak Lapas yang dilakukan beberapa waktu lalu. Ia malah senang mendapati peserta didiknya hanya menumpang tidur saat jam pembelajaran. "Berarti, dia sudah tidak ada masalah," ujar dia.

Kehidupan tahanan yang keras menjadikan penghuninya mengalami tekanan selama di dalam tahanan. Hirarki diantara penghuni tahanan menjadi salah satunya.

Tahanan yang menjadi tangan Kalapas akan memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandinkan penghuni lainnya. Sedangkan, tahanan yang tidak memiliki kekuasaan hanya menjadi suruhan. Selain komik, musik menjadi salah satu tempat melepaskan perasaan penghuni Lapas.

"Musik itu bisa meredakan emosi," ujar Agus Susanto, relawan RTJ pengampu kelas musik di Lembaga Pembinaan Khsusu Anak (LPKA) Salemba.

Tanpa disadari, musik mendorong pemainnya untuk jujur terhadap perasaan di dalam diri. Selama melatih musik anak-anak Lapas pada 2016 dan 2018, laki-laki yang belajar musik secara otodidak mengatakan bahwa ada perasaan terdalam dari para tahanan untuk berkumpul dengan keluarganya.

Mereka menjadikan musik untuk mengungkapkan perasaan ingin tobat, kangen dengan ibunya maupun perenungan diri. Karena terkadang, anak-anak yang tertangkap petugas aparat bukan karena melakukan kejahatan.

"Mereka hanya memegang senjata lalu ikut masuk (tahanan) karena toleransi dengan teman," ujar laki-laki yang pernah menjadi pengamen puisi di kendaraan umum ini. Melalui seni, para tahanan dapat sedikit bernafas lega untuk keluar dari tekanan selama hidup di dalam Lapas. din/E-6

Belajar Berkarya Secara Bertahap

Garis besar cerita selalu menjadi acuan setiap membuat komik maupun musik. Tujuannya tidak lain, supaya para peserta kelas workshop komik maupun musik di Lapas dapat mengungkapkan perasaannya.

Cerita merupakan kekuatan karya. Hal tersebutlah yang dilakukan Rahman saat memberikan kelas workshop pada anak-anak Lapas. Setiap akan membuat komik, dia selalu membebaskan ana-anak Lapas untuk mengungapkan perasaannya. Namun di sisi lain, dia memberikan garis besar runutan cerita yang diinginkan.

"Dari awal, saya memiliki target apa yang ingin saya dengar dari mereka," ujar dia tentang pengalamannya menjadi fasilitator.

Seperti saat akan membuat komik, Rahman menggaris bawahi cerita mengenai alasan anak masuk ke penjara, perasaan hidup di balik jeruji besi maupun harapan saat keluar Lapas. Dari cerita anak diperolehlah berbagai kisah, seperti seorang anak yang membunuh pamannya karena bapaknya dimakimaki.

Adalagi, perilaku pelecehan seksual maupun anak yang lebih senang hidup dibalik jeruji besi lantaran hidupnya dianggap lebih terjamin. Lain halnya dengan Agus Susanto, atau yang biasa disapa Santo, dia mulai mengajarkan musik dari ketukan-ketukan.

"Belajar musik dapat dimulai dari ketukan," ujar dia. Dengan cara tersebut, musik menjadi lebih ringan dibandingkan membuat lagu yang dimulai dari intro hingga penutup. Alhasil, peserta workshop yang merupakan penghuni Lapas menjadi lebih leluasa mencurahan hati.

Dalam mengajarkan musik, Santo membawa peralatan musik yang tergolong sederhana. Selain gitar, dia menggunakan ember maupun panci untuk menghasilkan suara menjadi melodi. Alat musik tersebut sengaja dibawanya dari luar Lapas.

Untuk pesertanya, dia tergolong memilih anak-anak yang memiliki masa hukuman cukup panjang. Tujuannya tidak lain, supaya durasi latihannya dapat dilakukan lebih lama.

Dari hasil latihannya, dia telah berhasil membentuk band walaupun sebagian anggotanya masih menyelesaikan hukumannya di Lapas. Selain itu, beberapa peserta yang kembali ke masyarakat dapat berpartisispasi dengan sejumlah kegiatan masyarakat, seperti menjadi penyanyi di gereja. din/E-6

Baca Juga: