Pengampunan pajak dikhawatirkan semakin menggerus penerimaan negara yang saat ini turun akibat dampak pandemi Covid-19.

JAKARTA - Rencana pengampunan pajak atau Tax Amnesty (TA) jilid II dinilai jauh dari asas keadilan bagi wajib pajak yang taat. Tak hanya itu, efektivitasnya juga diragukan mengingat capaian amnesti pajak tahap I jauh dari ekspektasi pemerintah.

Peneliti Ekonomi Indef Nailul Huda berpandangan TA II bisa memicu rasa ketidakadilan bagi para pembayar pajak. "Pemerintah kan berkata ada data tentang kekayaan warga negara di luar, ya cari saja dan berikan hukuman yang sesuai undang-undang. Jangan diampuni!" tegasnya pada Koran Jakarta, Selasa (29/6).

Nailul mengatakan hukuman kejahatan pajak menjadi denda saja, tidak ada kurungan badan. Sejatinya, kejahatan pajak merupakan ranah pidana karena merugikan negara dan berdampak ke masyarakat luas. Untuk itu, harusnya ada hukuman badan, bukan cuman denda.

Di samping mengkritisi aturan TA, Nailul juga tetap melihat sejumlah catatan positif dalam rencana perombakan perpajakan oleh pemerintah. Salah satunya rencana pengenaan pajak karbon dan cukai plastik untuk mengendalikan barang yang terbukti merusak lingkungan.

"Selama ini, cukai plastik diatur secara parsial belum secara menyeluruh. Saya rasa dengan dimasukkan cukai plastik ke dalam UU akan positif," ucap Nailul Huda.

Kedua, lanjut dia, kenaikan tarif pajak penghasilan untuk orang berpendapatan lima miliar juga bagus. Apalagi kalau ditambah dengan pajak kekayaan (wealth tax) sebagai fungsi distribusi pendapatan masyarakat.

Senada dengan Huda, Peneliti Ekonomi Core Yusuf, Rendy Manilet mengatakan program pelaporan aset ini sebenarnya justru mirip dengan program tax amnesty pada 2016-2017 . Saat itu, pemerintah memberikan pengampunan bagi wajib pajak (WP) yang belum melaporan aset secara semestinya pada periode pajak sebelumnya.

Dia menambahkan, setelah program tax amnesty selesai, seharusnya pemerintah harus memeriksa para oknum yang belum melaporkan aset dengan baik dengan menggunakan analisa data yang didapat dari program TA tentunya.

Tambah Penerimaan

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan rancangan undang-undang perpajakan akan mengatur pelaporan aset yang dirahasiakan, memasukkan pajak karbon dan menaikkan tarif PPN (pajak pertambahan nilai). Tujuannya untuk meningkatkan pendapatan pemerintah yang turun.

"Meskipun kita membicarakan hal ini selama pandemi Covid, tidak mengalihkan perhatian kita dari kebutuhan jangka menengah, panjang untuk membangun sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel," kata Sri Mulyani.

Pemerintah meluncurkan program untuk memungkinkan orang melaporkan aset yang tidak diungkapkan setelah amnesti pajak Indonesia pada 2016 hingga 2017.

Menurut salinan rancangan undang-undang yang diberikan oleh seorang anggota parlemen, pemerintah bertujuan untuk memberikan kesempatan lagi kepada pembayar pajak menyatakan aset tersembunyi dengan mengenakan tarif antara 12,5 dan 30 persen dari nilai aset.

Baca Juga: