Ketidakseriusan pemerintah daerah terhadap urusan guru dapat dilihat dari APBD. Alokasi dana 20 persen untuk pendidikan, ternyata diambil dari dana alokasi umum (DAU) untuk guru.

JAKARTA - Wacana penarikan kewenangan guru dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat mendapat tanggapan positif dari sejumlah kalangan. Pasalnya, pemerintah daerah selama ini dinilai tidak memberi perhatian serius atas urusan guru.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi media bertajuk "Melihat Peluang Tata Kelola Guru di Bawah Pemerintah Pusat" yang digelar Forum Wartawan Pendidikan (Fortadik), di Jakarta, Senin (28/5).

Hadir sebagai narasumber di diskusi tersebut, di antaranya anggota DPR RI dari Fraksi Golkar, Ferdiansyah, Ketua PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Usman Tonda, dan pengamat pendidikan, Indra Charismiadji.

Usman Toda mengatakan ketidakseriusan pemerintah daerah itu dapat dilihat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Alokasi dana 20 persen untuk pendidikan, ternyata diambil dari dana alokasi umum (DAU) untuk guru.

"Belum lagi kalau sedang pemilihan kepala daerah (pilkada), guru 'diseret' ke sana kemari. Jika tidak memihak, guru dimusuhi," ujarnya.

Selain itu, lanjut Usman, akibat lemahnya koordinasi, membuat kebijakan pendidikan tidak sampai ke tingkat lokal. Ini berdampak tak hanya pada guru, tetapi kualitas pendidikan di daerah tersebut.

"Rencana penarikan kewenangan pengelolaan guru ke pusat ini sebenarnya sudah dilontarkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi baru jenjang sekolah menengah atas (SMA) yang berhasil. Tapi itu pun baru ditarik ke provinsi," ujarnya.

Hal senada dikemukakan Ferdiansyah. Kebijakan guru baru sekadar lip service. Padahal guru mengemban fungsi pertahanan, selain mengajar. "Di era digital saat ini, guru memainkan peran sebagai pertahanan agar siswa tidak disusupi paham radikal," ujarnya.

Ferdi menilai penarikan kewenangan itu bisa dilakukan mulai dari guru berstatus aparatur sipil negara (ASN). Hal itu bisa dilakukan karena mereka harus tunduk pada Undang-Undang (UU) ASN, yang dalam salah satu pasalnya disebutkan, mereka harus siap ditempatkan di mana saja di wilayah Indonesia. "Kalau mau mulai penarikan bisa mulai dari guru ASN. Guru swasta menyusul," ujarnya.

Disinggung soal dana yang dibutuhkan untuk penarikan itu, Ferdi mengatakan hal itu bukan perkara sulit bagi pemerintah. Ia menganalogikan masalah itu seperti memindahkan uang dari saku kanan ke kiri, yaitu dari APBN ke APBD.

"Setiap tahun dana untuk membayar sekitar tiga juta guru di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sebesar 76,8 triliun rupiah. Saya rasa tidak sulit, anggarannya kan sudah teralokasikan di APBN," tuturnya.

Sementara dalam hal peningkatan kualitas guru, Ferdiansyah berharap organisasi profesi guru bisa dilibatkan dalam proses verifikasi dan validasi data, sehingga program pelatihan guru menjadi jelas karena dibuat sesuai dengan kebutuhan.

Perbaiki Sistem

Sementara itu, Indra Charismiadji menuturkan pengalaman Kementerian Agama dalam tata kelola guru, meski dikelola pusat, bukan berarti masalah guru selesai.

"Ada dua sistem yang sudah berjalan, yaitu di Kemdikbud dan Kemenag. Saya lihat dua-duanya memiliki problem. Karena itu, sebelum penarikan itu dilakukan, Kemdikbud harus belajar bagaimana memperbaiki sistem itu dulu," ujarnya.

Indra mencontohkan kebijakan penarikan kewenangan guru SMA ke provinsi. Karena ternyata penarikan itu bukan tanpa masalah. "Banyak guru yang mengantre agar dipindahkan sebagai guru SMP. Rupanya, setelah pemindahan itu, para guru kehilangan tunjangan dari pemerintah kabupaten/kota terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil," ujarnya.eko/E-3

Baca Juga: