Dengan kondisi ekonomi saat ini, terlebih di tengah pelemahan daya beli kelas menengah, kemungkinan penarikan PPN akan lebih sulit dilakukan.
JAKARTA - Wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen dikhawatirkan justru menurunkan pendapatan negara dari perpajakan. Sebab, kondisi perekonomian nasional tengah dibayangi pelemahan daya beli kelas menengah.
Ekonom senior Drajad Wibowo menyatakan tidak setuju dengan wacana itu lantaran khawatir akan berdampak pada penurunan penerimaan pajak. Dia mengakui ada potensi kenaikan penerimaan dari selisih 1 persen tarif PPN itu.
Namun, dengan kondisi ekonomi saat ini, kemungkinan penarikan PPN akan lebih sulit dilakukan. "Bagaimana kalau kenaikan itu membuat orang yang bayar makin sedikit? Sama seperti barang kalau dijual lebih mahal, orang yang beli makin sedikit. Ini ujungnya penerimaan kita jeblok," kata Drajad saat ditemui usai kegiatan Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, Rabu (9/10).
Pelemahan daya beli kelas menengah terindikasi pada tren deflasi yang telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut. Menurut Drajad, fenomena ini juga dipengaruhi oleh tingginya pengangguran di Indonesia, yang akhirnya membuat sebagian masyarakat terlempar dari kelompok kelas menengah.
Senada, ekonom senior Aviliani menilai rencana kenaikan PPN 12 persen dapat memperburuk kondisi kelas menengah yang sedang turun. Bila daya beli melemah, dunia usaha akan turut terdampak.
Karena itu, dia menyarankan agar pemerintah fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat sebelum menaikkan pajak. "Ini yang diperhatikan oleh dunia usaha. Kalau mau menaikkan pajak, bereskan dulu soal pendapatan masyarakat di kelas menengah, karena mereka merupakan permintaan bagi pengusaha," ujar Aviliani.
Rencana kenaikan tarif PPN 12 persen tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Pasal 7 ayat 1 UU HPP, disebutkan bahwa tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan akan dinaikkan lagi menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Namun, kepastian kebijakan PPN 12 persen nantinya akan diumumkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto setelah pelantikan presiden.
Di samping rencana kenaikan PPN 12 persen, UU HPP juga memberikan ruang untuk mengubah PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen.
Kemudian, pemerintah pun telah memberikan kebijakan pembebasan PPN pada sejumlah kelompok, seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, di mana insentif ini juga dinikmati kelompok menengah hingga atas.
Untuk tahun depan, penerimaan pajak ditargetkan sebesar 2.189,3 triliun rupiah atau tumbuh 13,9 persen dari outlook 2024 sebesar 1.921,9 triliun. Hal itu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan berbagai strategi dan bauran kebijakan yang optimal.
"Pertumbuhan akan ditopang oleh penerimaan PPh nonmigas yang ditargetkan tumbuh 14,6 persen dan PPN & PPnBM yang ditargetkan tumbuh 15,37 persen," ujar Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Muchamad Arifin dalam Media Gathering di Serang, Banten, beberapa waktu lalu.
Hadapi Tantangan
Namun, diakuinya, upaya penerimaan pajak pada 2025 bakal menghadapi sejumlah tantangan, seperti proyeksi ekonomi global yang relatif stagnan dan dampak moderasi harga komoditas.
Tantangan berikutnya adalah pergeseran sektor manufaktur ke sektor jasa. Tren tersebut bakal mendorong peningkatan sektor informal yang belum sepenuhnya tertangkap pada sistem perpajakan.
Tantangan ketiga adalah pergeseran dari ekonomi tradisional ke ekonomi digital sehingga dibutuhkan optimalisasi teknologi digital untuk menangkapnya.