PARIS - Para ahli baru-baru ini memperingatkan virus yang menyebabkan rekor kasus flu burung di seluruh dunia berubah dengan cepat. Dalam upaya mentasinya dikeluarkan seruan meningkat bagi negara-negara untuk memvaksinasi unggas mereka.

Dikutip dari France 24, sementara tekanan bahwa risiko terhadap manusia tetap rendah, para ahli mengatakan jumlah kasus flu burung yang melonjak di mamalia menjadi perhatian.

Sejak pertama kali muncul pada 1996, virus flu burung H5N1 sebagian besar hanya menjadi wabah musiman. "Tetapi sesuatu terjadi pada pertengahan 2021 yang membuat kelompok virus itu jauh lebih menular," kata Richard Webby, kepala pusat kolaborasi Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), yang mempelajari influenza pada hewan.

Sejak itu, wabah telah berlangsung sepanjang tahun, menyebar ke daerah baru dan menyebabkan kematian massal antara burung liar dan puluhan juta unggas dimusnahkan.

Webby, seorang peneliti di St Jude Children's Research Hospital di Memphis, AS, mengatakan kali ini "benar-benar" wabah flu burung terbesar yang pernah terjadi di dunia.

Dia memimpin penelitian, yang diterbitkan minggu ini di jurnal Nature Communications, menunjukkan bagaimana virus berkembang pesat saat menyebar dari Eropa ke Amerika Utara.

Lebih Berbahaya

Studi tersebut mengatakan virus tersebut meningkat virulensinya, yang berarti menyebabkan penyakit yang lebih berbahaya, ketika tiba di Amerika Utara. Dalam uji coba laboratorium, para peneliti menginfeksi seekor musang dengan salah satu galur baru flu burung.

"Ditemukan virus dalam jumlah besar yang tidak terduga di otaknya, menunjukkan virus itu telah menyebabkan penyakit yang lebih serius dari jenis sebelumnya," kata Webby.

Dia menekankan risiko pada manusia masih rendah, tapi Webby mengingatkan "virus ini tidak statis, melainkan berubah". "Itu memang meningkatkan potensi, bahkan secara kebetulan virus dapat mengambil sifat genetik yang memungkinkannya menjadi lebih seperti virus manusia," katanya.

Dalam kasus yang jarang terjadi, manusia tertular virus yang terkadang mematikan, biasanya setelah melakukan kontak dekat dengan unggas yang terinfeksi.

Virus ini juga telah terdeteksi pada jumlah mamalia yang melonjak, yang digambarkan Webby sebagai "tanda yang benar-benar meresahkan".

Pekan lalu, Chili mengatakan hampir 9.000 singa laut, penguin, berang-berang, pesut, dan lumba-lumba telah mati akibat flu burung di sepanjang pantai utaranya sejak awal tahun ini. Sebagian besar mamalia itu diyakini tertular virus karena memakan burung yang terinfeksi.

Tetapi Webby mengatakan yang "paling membuat kami takut" adalah indikasi dari cerpelai Spanyol atau di antara singa laut di Amerika Selatan, bahwa virus tersebut dapat menular antar mamalia.

Kepala virologi di Badan Kesehatan Hewan dan Tumbuhan Inggris, Ian Brown, mengatakan, belum ada "bukti yang jelas virus ini mudah bertahan di mamalia."

"Sementara virus berubah menjadi lebih efisien dan lebih efektif pada burung, ia tetap tidak beradaptasi dengan manusia," kata Brown kepada AFP.

"Virus unggas mengikat reseptor yang berbeda pada sel inang dari virus manusia," kata Webby.

"Dibutuhkan dua atau tiga perubahan kecil dalam satu protein virus untuk menjadi lebih beradaptasi dengan manusia. Itulah yang benar-benar kami cari," katanya.

Webby menjelaskan salah satu cara untuk menurunkan jumlah total kasus flu burung, dan karena itu mengurangi risiko terhadap manusia, adalah dengan memvaksinasi unggas mereka.

Beberapa termasuk negara Tiongkok, Mesir, dan Vietnam telah mengadakan kampanye untuk unggas. Tetapi banyak negara lain yang enggan karena mempersulit impor di beberapa tempat, dan kekhawatiran unggas yang divaksinasi tetap dapat lolos dari seleksi.

Pada April, Amerika Serikat mulai menguji beberapa kandidat vaksin untuk penggunaan potensial pada unggas. Prancis baru-baru ini berharap untuk mulai memvaksinasi unggas paling cepat musim gugur tahun ini.

Kepala dokter hewan Inggris, Christine Middlemiss, mengatakan memvaksinasi unggas bukanlah "peluru perak karena virus terus berubah".

"Tetapi secara tradisional negara-negara yang enggan mempertimbangkan untuk memvaksinasi unggas lebih rawan," kata Middlemiss dalam sebuah acara di kedutaan Inggris di Paris.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Hewan Dunia, Monique Eloit, mengatakan masalah program unggas harus "di atas meja". "Lagi pula, semua orang sekarang tahu pandemi bukan hanya fantasi, itu bisa menjadi kenyataan," tulisnya.

Baca Juga: