Judul : Nikah Beda Agama: Kenapa ke Luar Negeri?
Penulis : Sri Wahyuni
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : Desember 2016
Tebal : 372 halaman
ISBN : 978-602- 9193-94-7
Islam mengistilahkan pernikahan dengan mistaqan galizha, ikatan yang sangat kuat karena tidak hanya diikat dengan akad nikah di depan penghulu, namun juga komitmen di hadapan Allah. Kesucian pernikahan setara dengan kesucian para rasul dan ajaran kitab suci. Dalam Kristen Katolik, suami-istri dipersatukan oleh Allah sendiri sehingga keduanya menjadi satu daging. Dalam Efesus Bab 5, Paulus membandingkan hubungan suami-istri seperti hubungan Kristus dengan umat-Nya. Dalam Hindu, Buddha, dan agama-agama lain juga terdapat seperangkat nilai yang secara ritual berbeda, namun menjunjung pernikahan pada taraf sakralitas serupa (hlm 48-49).
Secara hukum, dia diatur UU Perkawinan Pasal 1 Nomer 1 Tahun 1974. Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin. Ikatan lahir berkaitan dengan hukum formal, sedangkan ikatan batin berdasarkan ajaran agama (hlm 2). Dengan kata lain, hukum formal sah jika didukung ajaran agama.
Jika agama salah satu calon mempelai tidak mengizinkan, secara hukum pernikahan tidak sah. Hal demikian secara tegas dijabarkan UU Perkawinan Pasal 2 Ayat 1. Ajaran agama dijadikan pijakan hukum perkawinan karena berhubungan kuat dengan Pancasila, sila Pertama.
Sebab setiap ajaran agama cenderung melarang umatnya menikah dengan penganut agama lain dan hukum tidak bisa menerima prosesi pernikahan yang dilarang agama. Maka, pernikahan beda agama tidak memiliki tempat dalam hukum. Selama ini, pasangan yang berbeda agama melakukan dua cara agar tetap bisa menikah. Mereka pura-pura masuk agama pasangannya, habis itu, kembali kepada agamanya semula. Cara yang lain, menikah di luar negeri.
Mereka memilih negara yang menerapkan model perkawinan berdasarkan UU sipil, bukan agama, seperti Australia, Singapura, Hong Kong, dan beberapa negara Barat. Selesai menikah, mereka segera kembali ke Tanah Air dan mendaftarkan diri ke kantor Catatan Sipil dengan mengajukan akta nikah. Gaya pernikahan seperti ini cukup diminati. Berdasarkan data Capil DKI Jakarta pada bulan Mei 2011, terdapat 79 pernikahan beda agama di luar negeri (hlm 16).
Secara hukum pernikahan demikian tetap tidak sah karena jelas-jelas bertentangan dengan UU Perkawinan Indonesian Pasal 56 UU. Hukum Perdata Internasional (HPI) juga menjelaskan, keputusan hukum negara asing bisa ditolak jika mengganggu ketertiban umum negara lain. Masalahnya, apakah pernikahan beda agama di luar negeri mengganggu ketertiban umum masyarakat Indonesia?
Jika didasarkan kepada fakta selama ini, tidak ada komplain masyarakat akan fenomena tersebut. Ini berarti pernikahan beda agama dari sisi sosiologis diterima. Agar tidak menjadi aturan ambigu, buku yang awalnya disertasi ini menawarkan beragam usulan filosofis, kultural, dan sosiologis. Dengan begitu UU Pernikahan di Indonesia bisa diterapkan secara utuh.
Kerangka pemikiran disertasi ini berasaskan aksioma, hukum berasal dari dan untuk rakyat. Jika masyarakat siap menerima pernikahan beda agama, selayaknya hukum juga diarahkan ke situ. Penerimaan masyarakat tersebut juga harus dipadukan dengan Pancasila yang terdiri atas unsur negara, adat, budaya, dan religius (hlm 56). Tiga unsur tersebut tidak boleh tidak harus dieksplorasi agar kemudian ada satu platform nilai yang bisa diakurkan untuk menjadi UU Perkawinan yang ideal.
Sebagai buku yang berasal dari disertasi, tentu data hasil riset dan referensi sebagai perbandingan dan pengayaan tentang pembahasan pernikahan beda agama sangat mumpuni. Ini mencakup fenomena di negara-negara Timur dan Barat. Dengan demikian, pembaca diajak memikirkan pula secara komparatif UU yang pas untuk pernikahan beda agama di negeri ini.
Diresensi Muhammad Abdul Manan, Dosen IAI Ibrahimi Sukorejo Situbondo