Undang-Undang Cipta Kerja akan menjadi pedoman bagi tiap sektor terkait untuk mendorong peningkatan perekonomian dan membuka lapangan pekerjaan.

Dengan begitu, angka pengangguran di Indonesia bisa ditekan. Tahun 2020, jumlah pengangguran diprediksi mencapai angka 10 juta penduduk. Namun, sejak disahkannya UU Cipta Kerja ini oleh DPR, tidak sedikit masyarakat yang menolak adanya UU Sapu Jagat itu.

Untuk mengupas terkait perkembangan sektor ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, Koran Jakarta mewawancarai Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah. Berikut petikan wawancaranya.

Bisa dijelaskan lagi dampak dari adanya UU Cipta Kerja ini terhadap sektor ketenagakerjaan?

Undang-Undang Cipta Kerja dapat memunculkan perubahan struktur ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Saat ini dibutuhkan lapangan pekerjaan untuk menampung orang yang tidak atau belum bekerja, baik sebelum adanya pandemi Covid-19 maupun mereka yang terdampak.

UU Cipta Kerja juga untuk menjawab hal-hal penting dan mendesak terkait ketenagakerjaan. Hal-hal tersebut yaitu perpindahan lapangan kerja ke negara lain, daya saing pencari kerja relatif rendah dibanding negara lain, pengangguran yang semakin banyak, dan jebakan middle income trap yang bisa menjerat Indonesia.

UU Cipta Kerja dibutuhkan dalam situasi persaingan global yang semakin ketat. Pasalnya, Indonesia membutuhkan sumber daya yang unggul agar bisa bersaing. Sementara tingkat produktivitas pekerja Indonesia masih yang terendah di Asia yaitu 74,8. Padahal, rata-rata negara Asia tingkat produktivitasnya mencapai 78,2.

Masih banyak pihak yang menuding UU Cipta Kerja lebih memihak kepada pengusaha. Bagaimana tanggapan Anda?

Aspek perlindungan dan penciptaan lapangan kerja bukan dua hal yang bisa dipertentangkan. Pelonggaran syarat-syarat berusaha tidak berarti mengurangi perlindungan pekerja.

UU ini mencari jalan tengah dan titik keseimbangan di antara keduanya. Meskipun ada saja pihak-pihak yang bersikap apriori menyatakan bahwa pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha.

Memang, hal-hal teknis yang belum diatur di UU Cipta Kerja harus dimasukkan ke dalam peraturan pemerintah (PP) seperti jangka waktu dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Jadi, perlu ada batasan waktu diatur dalam PP setelah ada pembahasan bersama dengan forum triparti antara pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah. Segera setelah DPR menyerahkan UU itu kepada pemerintah, saya akan mengajak dialog lagi tanpa henti kepada semua pihak.

UU Cipta Kerja ini mempermudah proses usaha. Apa berlaku juga bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)?

Dalam UU Cipta Kerja banyak syarat-syarat kemudahan berusaha dicantumkan misalnya, pendirian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dipermudah menjadi berbasis pendaftaran saja, tidak perlu izin, agar tidak lama dan mahal. Kemudahan juga terjadi pada pembentukan koperasi dan perseroan terbuka. Ini agar UMKM dapat menjadi badan hukum sehingga bisa bankable. Bisa dapat kredit.

Selain itu, kemampuan dunia usaha tidak sama mengingat ada usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil. Jika pesangon terlalu tinggi, upah terlalu tinggi, dan waktu kerja terlalu kaku maka usaha kecil menengah sulit tumbuh. Itulah sebabnya kita buat aturan yang juga mencerminkan solidaritas kepada industri yang kecil. Ya UU Cipta Kerja itu.

Ada juga yang menyebut dalam UU ini tidak ada sanksi jika perusahaan melanggar. Apa benar begitu?

Ini misleading lagi. Sanksi tetap ada, kita adopsi dari UU lama, baik sanksi pidana maupun administratif. UU ini bergigi kuat, tidak ompong. Sebagai bukti komitmen terhadap peningkatan kompetensi, dalam skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) Kemnaker memasukkan tambahan vocational training benefit. Artinya, pekerja ter-PHK berhak atas pelatihan dan sertifikasi gratis, sambil menunggu mendapat pekerjaan baru. Sehingga saat ada lowongan kerja, sudah punya sertifikat kompetensi. Bisa nego gaji lebih tinggi, kan. n muh ma'arup/P-4

Baca Juga: