“Titik temu itu temunya adalah di UU omnibus law (Cipta Kerja). Semua masukan sudah kita terima, tapi beri kesempatan pada pemerintah untuk membuat peraturan peraturan teknis sehingga antara kebutuhan pengusaha dan pekerja ini ada titik temu yang baik."

JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto, mengatakan, Undang-undang Cipta Kerja bisa menjadi solusi permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurutnya, regulasi tersebut bisa menjadi titik temu bagi pengusaha dan pekerja.

"Titik temu itu temunya adalah di UU omnibus law (Cipta Kerja). Semua masukan sudah kita terima, tapi beri kesempatan pada pemerintah untuk membuat peraturan peraturan teknis sehingga antara kebutuhan pengusaha dan pekerja ini ada titik temu yang baik," ujar Edy, kepada awak media, di Jakarta, Jumat (6/9).

Dia menerangkan, dalam era revolusi industri saat ini, sulit menemukan titik tengah antara ketidakpastian bisnis dan investasi yang mendorong kesejahteraan pekerja. Dengan demikian, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya-lah yang menjadi jembatan untuk mencari solusi atas permasalahan pengusaha dan pekerja.

"Jadi di satu sisi kita ingin investasi tetap berjalan di satu sisi kesejahteraan buruh juga harus terjaga dengan baik, aman selalu, titik temu itu sulit karena tentu kita tidak ingin misal kasus kasus seperti ini banyak perusahaan yang tutup ya akhirnya juga pekerja tidak bisa bekerja, tapi kita ingin (pekerja) juga bisa bekerja," jelasnya.

Sebagai informasi, angka PHK meningkat beberapa waktu belakangan. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) setidaknya sekitar 46.240 tenaga kerja terkena PHK hingga akhir Agustus 2024.

Edy menekankan, perusahaan harus menjamin berbagai hak pekerja yang di-PHK terpenuhi. Seperti hak pesangon hingga jaminan kehilangan pekerjaan.

"Satu, (jaminan) pesangon. Tidak boleh perusahaan mengingkari pesangon. Yang kedua, jaminan sosial terutama jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan yang lebih penting adalah jaminan kehilangan pekerjaan," katanya.

Dia mencontohkan, dari 20.000 kasus PHK yang terjadi di Jawa Tengah, hanya sekitar 9.700 dari total 13.700 tenaga kerja ter-PHK yang mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan. Menurutnya, adanya perusahaan-perusahaan nakal yang tidak membayar iuran jaminan kehilangan pekerjaan tersebut.

"Terungkap ternyata ada perusahaan yang nakal, ketika perusahaan tahu sulit dia mau bangkrut, iuran jaminannya gak dibayar. Kebanyakan data di BPJS Ketenagakerjaan tertutup, ini ketika betul-betul PHK, hilang hak jaminan kehilangan pekerjaan," ucapnya.

Baca Juga: