NEW YORK - Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, Julie Bishop, menyatakan bahwa ia telah mengunjungi ibu kota Myanmar dan bertemu dengan kepala junta militer negara tersebut. Hal itu diutarakan Bishop dalam pertemuan PBB pada Selasa (29/10), seraya menambahkan bahwa para pemangku kepentingandi Myanmar harus bergerak melampaui apa yang disebutnya "mentalitas zero-sum" untukpenyelesaian konflik yang memilukan di negara Asia tenggara tersebut.
Myanmar berada dalam krisis sejak panglima militer Min Aung Hlaing memimpin kudeta dan menangkap anggota pemerintahan terpilih yang dipimpin oleh peraih Nobel, Aung San Suu Kyi, pada 1 Februari 2021.
Bishop, mantan Menteri Luar Negeri Australia yang ditunjuk untuk menangani Myanmar pada April lalu mengatakan bahwa jalan apapun menuju rekonsiliasi memerlukan diakhirinya kekerasan, akuntabilitas, dan akses bagi PBB dan kelompok-kelompok bantuan.
"Saya telah mengunjungi Naypyidaw dan bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing," kata Bishop tentang kunjungan yang sebelumnya dirahasiakan itu, tanpa memberikan rincian lebih lanjut tentang pertemuan tersebut.
Bishop juga mengatakan bahwa ia pun telah bertemu dengan perwakilan dari partai pimpinan Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), pemerintah bayangan, dan organisasi etnis bersenjata.
"Tujuan saya adalah untuk memahami berbagai perspektif yang berbeda dan sering kali bertentangan sehingga melalui peran saya, saya dapat mendorong koordinasi yang lebih baik dengan upaya regional dan global untuk memfasilitasi solusi yang disepakati," ucap Bishop.
"Para pemangku kepentingan Myanmar harus bisakeluar dari mentalitas zero-sum saat ini. Tidak banyak kemajuan yang dapat dicapai dalam memenuhi kebutuhan rakyat jika konflik bersenjata terus berlanjut di seluruh negeri." tegas dia.
Sanksi Baru
Sementara itu Uni Eropa, Inggris, dan Kanada, pada Selasa mengumumkan sanksi baru yang menargetkan akses junta Myanmar ke peralatan, perlengkapan, dan dana militer.
Pembatasan baru tersebut yang menargetkan pada entitas yang memasok bahan bakar dan peralatan penerbangan ke militer Myanmar, ditujukan untuk membatasi kemampuannya untuk melakukan serangan udara terhadap warga sipil, menurut Inggris.
Sanksi terbaru ini muncul saat pemberontak etnis minoritas dan Pasukan Pertahanan Rakyat yang berjuang untuk melawan kudeta berbalik menyerang dan memukul mundur pasukan junta dan menempatkan para pemberontak di posisi dekat bekas ibu kota kerajaan, Mandalay. ST/AFP/I-1