Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Noeleen Heyzer, memperingatkan bahwa krisis politik, hak asasi manusia, dan kemanusiaan di Myanmar telah menimbulkan bencana besar bagi rakyat.

NEW YORK - Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Noeleen Heyzer, melaporkan kepada Komisi HAM PBB pada Selasa (25/10) di New York, AS, bahwa lebih dari 13,2 juta orang tidak memiliki cukup makanan di Myanmar, 1,3 juta orang harus mengungsi, dan militer Myanmar melanjutkan operasi menggunakan kekuatan yang tidak proporsional, termasuk pemboman, pembakaran rumah dan bangunan, dan pembunuhan warga sipil.

Noeleen Heyzer memberikan laporan pertamanya di sidang PBB sejak ia mengunjungi Myanmar pada Agustus lalu dan bertemu dengan kepala junta militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Dia menerangkan bahwa pertemuan itu adalah bagian dari upaya yang lebih luas oleh PBB untuk mendukung kembalinya segera pemerintahan sipil. "Ada realitas politik baru di Myanmar dimana rakyat menuntut perubahan dan tidak mau lagi menerima kekuasaan militer," kata Heyzer.

Heyzer selanjutnya mengatakan, dia membuat enam permintaan selama pertemuan dengan panglima militer Myanmar, termasuk untuk mengakhiri pemboman udara dan pembakaran infrastruktur sipil; memberikan bantuan kemanusiaan tanpa membeda-bedakan; membebaskan semua anak dan tahanan politik; melembagakan moratorium eksekusi mati; memastikan kesejahteraan dan memungkinkan pertemuan dengan mantan pemimpin negara yang dipenjara Aung San Suu Kyi; dan menciptakan kondisi untuk pemulangan sukarela dan aman bagi lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari tindakan keras militer.

Militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil pada 1 Februari 2021 setelah pemilihan umum November 2020 dimenangkan oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi. Pihak militer yang kubu politiknya mengalami kekasalahan besar menuduh ada kecurangan dalam pemilu itu.

Kudeta militer itu segera disambut dengan aksi protes besar-besaran, yang kemudian berubah menjadi perlawanan bersenjata pihak oposisi. Para ahli dan pengamat, termasuk pendahulu Noeleen Heyzer, Christine Schraner Burgener, menyebut situasi di Myanmar sebagai perang saudara.

Sebagian besar komunitas internasional, termasuk sesama anggota Asean, telah menyatakan rasa frustrasi atas garis keras yang diambil para jenderal yang menolak reformasi politik. Padahal penguasa militer Myanmar telah menyetujui rencana lima poin Asean pada April 2021 untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas. Namun junta militer tidak berbuat banyak untuk melaksanakan rencana tersebut.

Rencana perdamaian Asean itu menyerukan penghentian segera kekerasan, dialog di antara semua pihak terkait, mediasi proses dialog oleh utusan khusus Asean, pemberian bantuan kemanusiaan melalui saluran Asean, dan kunjungan ke Myanmar oleh utusan khusus Asean untuk bertemu semua pihak terkait.

Heyzer dan utusan khusus Asean, Prak Sokhonn, dari Kamboja telah mengunjungi Myanmar, tetapi keduanya tidak diizinkan untuk bertemu dengan Aung San Suu Kyi.

Heyzer mengatakan kepada Komisi HAM PBB, ada beberapa jalan yang harus ditempuh.

"Sementara ada sedikit ruang untuk de-eskalasi kekerasan, ada beberapa cara konkret untuk mengurangi penderitaan rakyat," kata dia seraya mengatakan telah bekerja sangat erat dengan utusan Asean dan ketua Asean, tetapi dia juga mengeritik rancanan lima poin Asean, yang tidak menyinggung masalah pengungsi Rohingya, ataupun cara terbaik untuk mengembalikan pemerintahan sipil di Myanmar.

Asean sendiri telah menyatakan sangat prihatin dengan eskalasi kekerasan di Myanmar dan menyerukan penghentian segera pertempuran, kata Kamboja sebagai Ketua Asean saat ini dalam pernyataan yang dirilis Rabu (26/10). Para menteri luar negeri Asean akan bertemu pada Kamis (26/10) di Jakarta untuk membahas krisis tersebut. DW/I-1

Baca Juga: