» Obligasi rekap BLBI adalah produk kejahatan ekonomi terbesar yang membangkrutkan satu negara.

» DPR sebagai pemilik hak budget diminta mendesak pemerintah agar segera bernegosiasi ke IMF meminta moratorium.

JAKARTA - Pemerintah diimbau meminta pertanggungjawaban Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia atas berbagai kesalahan rekomendasi terhadap Indonesia pada krisis moneter 1998. Permintaan itu penting karena kesalahan rekomendasi tersebut menyebabkan negara harus menanggung beban utang belasan ribu triliun rupiah.

Ekonom Konstitusi Defiyan Cory yang diminta pendapatnya di Jakarta, Selasa (20/4), mengatakan dua lembaga yang bertindak sebagai konsultan sekaligus kreditor telah memberikan rekomendasi atas kebijakan pemberian dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan penerbitan Obligasi Rekapitalisasi (OR) yang menyebabkan negara masuk dalam jebakan utang.

"Kompensasinya bisa dalam dua bentuk, bisa dengan trade off atau mengurangi utang luar negeri Indonesia pada lembaga tersebut agar risiko utang bisa terkelola atau maksimal penghapusan utang," kata Defiyan.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Ma'ruf, menilai penarikan utang RI saat ini sama sekali tidak bermanfaat karena menyandera fiskal.

Untuk itu, dia mendesak pemerintah melakukan lobi tingkat tinggi. Meskipun IMF lembaga independen, tetapi owner-nya banyak negara, sehingga lobi bisa dilakukan antarpemerintah negara anggota atau government to government (G to G), kemudian dilanjutkan ke lobi secara institusi yaitu IMF.

"Kenapa ini penting karena hakikatnya, utang masa lalu yang tidak sah, tidak layak menjadi beban fiskal kita," tegas Ahmad.

Dia juga mendesak wakil rakyat di Senayan (DPR) sebagai lembaga yang punya hak budget harus mendesak Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keuangan untuk melakukan negosiasi tersebut. "Saya punya keyakinan Menteri Keuangan punya cara untuk mau melakukan renegosiasi. Terlebih lagi, dia pernah menjadi pimpinan World Bank," katanya.

Desakan dari DPR diharapkan bisa mendorong pemerintah bergerak lebih cekatan. Keberanian Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2021 dengan membentuk Satgas Penagihan BLBI seharusnya ditindaklanjuti.

"Jangan hanya sebatas menagih tunggakan BLBI, tetapi yang tidak kalah penting adalah melakukan moratorium bunga obligasi rekap yang membuat ruang fiskal semakin terbatas," katanya.

Sengaja Mengemplang

Sebelumnya, Manajer Riset Sekretaris Nasional Fitra, Badiul Hadi, mengatakan atas saran dari dua lembaga tersebut, Indonesia masuk dalam jebakan utang yang harus dibayar bunganya hingga 2043. Jumlah obligasi rekap yang diterima bank-bank saat krisis moneter mencapai 430 triliun rupiah lebih.

Sedangkan injeksi dana tunai pemerintah ke beberapa pemilik bank dalam bentuk BLBI mencapai 144,5 triliun rupiah. BLBI inilah yang saat ini kembali ditagih pemerintah karena para penerimanya sengaja mengemplang.

"Pemerintah harus meminta IMF dan Bank Dunia bertanggung jawab karena atas saran merekalah, pemerintah mengeluarkan obligasi rekap yang bisa dikategorikan sebagai odious debt atau illegitimate debt," kata Badiul.

Dalam hukum internasional, odious debt atau illegitimate debt, kutip Badiul, merupakan utang nasional yang ditimbulkan oleh rezim yang lalim dan tidak boleh ditegakkan. Utang semacam itu merupakan utang pribadi rezim yang menanggungnya dan bukan utang negara. Dalam beberapa hal, konsep ini analog dengan ketidakabsahan kontrak yang ditandatangani di bawah paksaan.

"Obligasi rekap BLBI adalah produk kejahatan ekonomi terbesar yang membangkrutkan satu negara," kata Badiul.

Atas kesalahan itu, maka IMF dan Bank Dunia harus menjadi underwriter (penjamin emisi) moratorium obligasi rekap.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan rekomendasi IMF saat krisis moneter 1998 untuk mengguyur penerima dengan BLBI dan menerbitkan obligasi rekap terbukti membuat Indonesia terpuruk karena utang.

"Kita dibuat semakin bergantung, tujuannya menjaga agar kita tetap berutang. Pinjaman yang diberikan selalu disertai syarat-syarat yang hanya menguntungkan negara kreditor. Parahnya lagi, banyak rekayasa jaminan, aset tanah atau bangunan dari penerima BLBI nilainya jauh di bawah besarnya bantuan yang diterima, tapi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saat itu meloloskan," kata Suroso. n ers/SB/E-9

Baca Juga: