» Kejahatan korupsi seperti BLBI tidak boleh diproteksi dan dibiarkan berlalu tanpa ditindak.

» Pemerintah didesak melakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekap agar kurangi beban APBN.

SURABAYA - Di tengah gencarnya menarik utang untuk membiayai penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah diingatkan agar tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Sebab, penarikan utang saat krisis berpotensi mengulang mega-skandal penerbitan obligasi rekapitalisasi (rekap) untuk menalangi korporasi penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum tuntas penyelesaiannya hingga saat ini.

Pakar hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, Suparto Wijoyo, yang diminta pendapatnya di Surabaya, Minggu (21/2), mengatakan utang yang dari dana talangan BLBI telah melukai rasa keadilan karena bebannya ditanggung seluruh rakyat padahal yang berutang para konglomerat.

"Pencurian uang negara ini sungguh melukai rasa keadilan. Beban bunga dan utang pokoknya yang besar telah menyakiti hati rakyat, karena melibatkan banyak pihak yang seharusnya mengelola dana itu untuk kesejahteraan masyarakat lewat program-program pembangunan," kata Suparto.

Kasus korupsi semacam BLBI dan berbagai kasus besar lainnya mencerminkan pekerjaan sistematis, rapi, masif, dan kolosal. Masyarakat hanya bisa melihat aktor-aktor koruptor yang punya kedudukan, berpendidikan dan terhormat, dan rata-rata mengenyam pendidikan tinggi melakukan aksinya yang mengancam daya tahan negara.

Sebab itu, dia meminta agar kejahatan korupsi seperti BLBI tidak boleh diproteksi dan dibiarkan berlalu tanpa ditindak.

"Semua pihak yang anti korupsi bersama rakyat harus mendorong pengusutan kasus-kasus semacam ini agar tidak terus berulang," kata Suparto.

Sementara itu, Peneliti Ekonomi CORE, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan penambahan jumlah belanja bunga utang pemerintah pada APBN semakin mempersempit ruang gerak belanja pemerintah.

Ruang belanja yang sifatnya produktif, seperti belanja modal, tidak bisa dianggarkan secara optimal. Sebab itu, pemerintah harus punya terobosan untuk mengurangi beban utang terutama BLBI.

Hal itu bisa dilakukan dengan moratorium bunga obligasi rekap agar tidak menjadi beban bunga yang membebani APBN. "Saya kira secara ekonomi politik, perlu didiskusikan kembali masalah obligasi rekap antara pemerintah dan DPR jika memang ingin serius menyudahi masalah ini," kata Yusuf.

Bom Waktu

Sebelumnya, data dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2019 yang disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan bahwa Kementerian Keuangan tidak optimal mengelola aset dari BLBI.

Beban BLBI terus menghantui kendati telah berlangsung lebih dari dua dekade. Selain beban bunga yang masih harus ditanggung oleh rakyat pembayar pajak dan pemerintah, persoalan aset eks BLBI tampaknya bakal menjadi bom waktu, jika proses tak segera dirampungkan.

Dari laporan itu menyebutkan pengelolaan aset properti eks BPPN dan eks kelolaan PT PPA (Persero) belum memadai. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara atau DJKN dinilai tidak optimal dalam melakukan pengamanan aset properti eks BPPN dan eks PT PPA serta penetapan status penggunaan (PSP) aset eks PT PPA tidak memperhatikan status kepemilikan aset.

Selain itu, pengelolaan piutang BLBI yang juga belum memadai. Tak tanggung-tanggung, nilai piutangnya mencapai 17,17 triliun rupiah.

Laporan juga mengungkap dalam proses penagihan piutang BLBI mulai dari adanya agunan aset bank dalam likuiditas atau BDL yang tidak dikuasai pemerintah hingga tingkat penyelesaian piutang yang diserahkan kepada negara sangat rendah.

LHP BPK menjelaskan piutang BLBI sebesar 91,7 triliun rupiah yang terdiri dari aset kredit eks BPPN sebesar 72,6 triliun rupiah, aset kredit eks kelolaan PT PPA sebesar 8,9 triliun rupiah dan piutang eks Bank Dalam Likuidasi (BDL) sebesar 10,07 triliun rupiah. Sementara itu, tingkat penyelesaian piutang jika dirata-rata masih kurang dari 10 persen.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, beberapa waktu lalu mengakui penyelesaian BLBI belum selesai dan membebani pembukuan pemerintah hingga saat ini.

n SB/ers/E-9

Baca Juga: