JAKARTA - Bank Indonesia (BI), pada Senin (15/11), melaporkan posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan III 2021 yang mencapai 423,1 miliar dollar AS atau tumbuh 3,7 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy). Persentase pertumbuhan itu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar dua persen (yoy).

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, dalam keterangan tertulis di Jakarta, mengatakan perkembangan tersebut disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan ULN sektor publik dan sektor swasta.

Posisi ULN pemerintah pada triwulan III-2021, jelasnya, mencapai 205,5 miliar dollar AS atau tumbuh 4,1 persen (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan triwulan II-2021 sebesar 4,3 persen (yoy), yang disebabkan oleh pembayaran neto pinjaman seiring lebih tingginya pinjaman yang jatuh tempo dibanding penarikan pinjaman.

"Hal ini terjadi di tengah penerbitan surat utang global, termasuk Sustainable Development Goals (SDG) Bond sebesar 500 juta euro," katanya.

Pinjaman luar negeri pemerintah, katanya, dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel terutama untuk mendukung belanja prioritas pemerintah.

Alokasi SDR dari IMF

Sementara itu, ULN bank sentral meningkat sebesar 6,3 miliar dollar AS menjadi 9,1 miliar dollar AS pada triwulan III-2021 terutama dalam bentuk alokasi Special Drawing Rights (SDR).

Pada Agustus 2021, Dana Moneter Internasional (IMF) mendistribusikan tambahan alokasi SDR secara proporsional kepada seluruh negara anggota, termasuk Indonesia, yang ditujukan untuk mendukung ketahanan dan stabilitas ekonomi global dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19, membangun kepercayaan pelaku ekonomi, dan memperkuat cadangan devisa global dalam jangka panjang.

Alokasi SDR dari IMF itu adalah kategori khusus dan tidak dikategorikan pinjaman karena tidak menimbulkan tambahan beban bunga utang dan kewajiban yang akan jatuh tempo ke depan.

ULN swasta sendiri pada triwulan III-2021 juga tumbuh 0,2 persen (yoy), setelah pada periode sebelumnya mengalami kontraksi 0,3 persen (yoy). Hal itu disebabkan oleh pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan satu persen (yoy), melambat dari 1,6 persen (yoy) pada triwulan II-2021. Sementara ULN lembaga keuangan mengalami kontraksi 2,7 persen, lebih rendah dari kontraksi triwulan sebelumnya sebesar 6,9 persen (yoy), sehingga posisi utang swasta tercatat 208,5 miliar dollar AS.

Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Wasiaturrahma, mengatakan pandemi menyebabkan utang hampir semua negara melonjak. Sebab itu, perlu strategi untuk mengurangi beban keuangan negara dengan menekan defisit.

"Pendekatan pembiayaan defisit biasanya terbatas pada mekanisme berbasis pajak, berbasis pengeluaran, dan berbasis utang. Selain ketiga jenis solusi ini, kita dapat mempertimbangkan peran pengalihan aset publik dengan melepaskan aset nonkeuangan publik atau melepaskan saham pemerintah di perusahaan publik," katanya.

Baca Juga: